Pupuh V

189 5 0
                                    

Sabda Palon dan Naya Genggong pagi-pagi buta pergi ke pura persembhayangan. Mereka mengheningkan cipta dan meminta petunjuk dewata, apakah gerangan yang akan terjadi kepada Majapahit. Walau kedua penasihat Prabu Brawijaya ini terkenal sakti, namun mereka tidak mau memperlihatkan kesaktian mereka itu kepada orang banyak apalagi khalayak umum. Mereka menekuni dunia spiritualitas, dan seringkali memperingatkan momongan mereka, Prabu Brawijaya, untuk tidak bertindak gegabah apalagi bertindak yang tidak benar. Sabda Palon dan Naya Genggong sebenarnya sudah mengetahui ramalan masa depan kelak Prabu Brawijaya dan masa depan Nusantara ini setelah Majapahit diruntuhkan oleh orang-orang Islam itu. Namun, saatnya belum tepat memberitahukan hal memilukan ini kepada momongan mereka, Prabu Brawijaya. Karena masih berstatus sebagai Rajadiraja Tanah Jawa yang sah, Prabu Brawijaya selalu mendapati wisik halus dari roh orang-orang Nusantara yang telah wafat mendahului beliau. Wisik itu jelas, mengetuk pintu hati dan membuka cakrawala kebatinan Prabu Brawijaya, namun saat ini ada semacam 'jeruji besi' yang menghalang-halangi wisik roh orang-orang Nusantara itu terhadap Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya sama sekali tidak mendengarkan peringatan halus dari wisik roh orang-orang Nusantara yang telah menjelaskan padanya. Karena kesalahannya inilah, maka sebentar lagi ia akan menyaksikan kedahsyatan dan kehancuran kedaton kebanggan Nusantara ini!

Sepuluh hari berlalu, Raden Hassan dengan beberapa Santri Pesantren Giri datang menemui ayahandanya, Prabu Brawijaya. Betapa sukacitanya Sang Prabu mendapati anak kandungnya sehat, dan kini telah tumbuh dewasa. Raden Hassan pun dijamu berbagai makanan dan minuman yang enak di Kedaton Majapahit. Semua ini adalah gambaran kebaikan hati Prabu Brawijaya yang teramat besar, apalagi kepada putranya. Dalam perbincangan dengan Ayahandanya, Raden Hassan mulai menggulirkan rencana dari misi khusus yang ia bawa ke Majapahit.

Raden Hassan memohon  anugerah dari Ayahandanya untuk diberikan daerah otonom. Prabu Brawijaya segera mengabulkan permintaannya. Raden Hassan meminta daerah pesisir Utara Jawa bagian Tengah. Dia memilih daerah yang dikenal dengan nama Alas Glagah Wangi.

Prabu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk membangun daerah baru tersebut. Raden Hassan, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir Utara, di daerah alas yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu selesai babat alas dan pusat Kadipaten dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Ayahandanya, Sang Prabu Brawijaya, sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana.

Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Di Demak, dibangun beberapa pesantren untuk para santri yang belajar agama Islam. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara Barat dan Timur pesisir Utara Jawa.

Di pesisir Utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayangnya fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir Utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandi telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit ini ke kedaton. Lagi-lagi laporan mereka ternyata tidak ditanggapi oleh Prabu Brawijaya.

Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Siu Ban Ci dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai seorang prajurit di Majapahit. Raden Hussein tidak ikut terpengaruh ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam kakak tirinya. Justru Raden Hussein diangkat sebagai Adipati di daerah Terung (Sidoarjo sekarang) dengan gelar, Adipati Pecattandha atau Adipati Terung.

Kebaikan Prabu Brawijaya begitu besar sebenarnya. Tetapi, kebaikan yang tidak disertai dengan kebijaksanaan bukanlah sebuah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah di kemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah ke permukaan. Dan Prabu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.

Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan Majapahit. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Kubu Putihan sering mengadakan pertemuan bersama Raden Hassan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.
Pada awal tahun 1478 Masehi, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu itu terjadi tragedi Syeikh Siti Jenar. Syeikh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan di sidang oleh Dewan Wali Sanga dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama di Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, ahli nujum, seorang dukun, dan lain sebagainya.

Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga tidak bisa menemukan kesalahan Syeikh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeikh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari bahkan dibuat-buat. Konsentrasi Dewan Wali Sanga terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah dan pembicaraan yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup kuat untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin gerakan. Raden Hassan, yang memiliki nama Raden Patah, dikukuhkan oleh para ulama dan Wali dengan gelar 'Senapati Jin Bun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama Sultan Syah Alam Akbar Al-Fattah'.

Kubu Abangan tidak menghadiri musyawarah itu. Apalagi semenjak Dewan Wali Sanga atau Majelis Ulama di Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan Kubu Putihan dan Kubu Abangan kian meruncing. Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sanga merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur. Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan.

Dari berbagai penjuru, pasukan besar militansi Islam mulai melakukan penyerangan-penyerangan ke berbagai wilayah daerah yang dilaluinya. Hal ini membuat resah para Adipati dan pejabat daerah lainnya. Pasukan Telik Sandi Majapahit mulai mengendus rencana ini. Prabu Brawijaya mendapatkan laporan dari para pasukan Telik Sandi yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan nekat berbuat makar. Prabu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang-orang yang sudah terdoktrin!

Dan manakala pergerakan pasukan Islam besar-besaran ini terdengar, yaitu pasukan orang-orang Islam Kubu Putihan, gabungan dari seluruh laskar Islam yang ada di wilayah pesisir Utara Jawa Timur sampai Jawa Barat mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah berlarian kalang kabut! Mereka tidak menyangka bahwa orang-orang Islam sedemikian banyaknya. Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tak ada yang bisa membendung pergerakan mereka. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah per daerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan dengan daerah lainnya. Semua serba mendadak. Tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.

Gerakan pasukan militansi Islam ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera melarikan diri ke ibu kota Kerajaan Majapahit. Mereka melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu. Dan dari mereka, Prabu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih, ber-panji tulisan asing, berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Kerajaan Majapahit.

Nyawa Kedaton besar Majapahit semakin di ujung tanduk. Majapahit kini benar-benar mengalami 'senjakala' terbesar yang tidak pernah terbayangkan. Nyawa Majapahit terancam! Majapahit mengalami serangkaian permasalahan pelik dari dalam, dan kini Majapahit haruslah menghadapi serangan kubu orang-orang Islam yang bergerak menuju arah ibu kota Kerajaan untuk melakukan 'makar'.

Siapakah yang dapat merubah jalannya takdir ? Siapakah yang bisa menyangkal suratan karma ? Dapatkah manusia lepas dari kehendak Hyang Widhi ? Sejauh itukah manusia mulai kehilangan akal sehatnya ?

Kehendak Hyang Widhi memang tidak bisa kita ketahui secara pasti. Karena Ia Maha Mengetahui segalanya, tetapi keputusan-keputusanNya begitu amat dalam tanpa bisa kita pikirkan dengan logika manusia.

Dan inilah babak akhir dari kebesaran kedaton kebanggaan Nusantara, bernama MAJAPAHIT.






Prabu DewatanegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang