Giri Kedathon memulai langkah-langkah militansinya dan langkah politiknya untuk menjungkalkan kekuasaan Prabu Brawijaya sebagai Raja Majapahit. Mereka menganggap, bahwa pemerintahan Majapahit yang beragama Siwa-Buddha adalah 'kafir'. Karena alasan itulah, mereka mencita-citakan berdirinya Ke-Khalifah-an Islam pertama di Tanah Jawa ini. Sudah jelas mereka sangat membahayakan, baik luar maupun dalam. Dan mereka bisa saja sewaktu-waktu dapat meruntuhkan dominasi kebesaran Kerajaan Majapahit. Tindakan ini sungguh keterlaluan.
Seorang ulama Islam, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa, yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam dari Giri Kedhaton. Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara berdasarkan Islam.
Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung (sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll. Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeikh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeikh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan Kaum Putihan yang merencanakan berdirinya Negara Islam di Tanah Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeikh Siti Jenar menyatakan keluar dari Dewan Wali Sanga. Syeikh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti. Di daerah Cirebon, Syeikh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Ketika menjelang awal tahun 1478 Masehi, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri. Keberadaan Syeikh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam oleh para ulama dari Kubu Putihan.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh pasukan telik sandi dari Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak di pesisir utara Tanah Jawa. Mulai dari Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabu Brawijaya. Namun, Prabu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau. Ia sama sekali tidak menyadari hal yang sangat membahayakan ini. Perkataannya seolah seperti tidak memiliki kuasa, dan perkataan Prabu Brawijaya sendiri masih 'mengambang', tidak jelas apa yang ada dalam maksud perkataannya itu.
Ki Ageng Pengging adalah putra dari pasangan putri sulung Dewi Amaravati dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa dari Pengging. Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeikh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Siwa-Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami ilmu spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang 'Kebenaran Sejati'. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara kepercayaan Siwa-Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka berdua ini di salahartikan oleh ulama-ulama radikal Giri Kedhaton yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeikh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeikh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau-lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah. Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeikh Siti Jenar hanyalah seorang 'sahabat spiritual'. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal dan picik. Ki Ageng Pengging dan Syeikh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam Demak Bintara, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeikh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan orang-orang radikal tersebut
Bahkan nama Ki Ageng Pengging dan Syeikh Siti Jenar di 'black list'. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi dan di tuduh sebagai dua orang yang sesat di kalangan orang-orang Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya masih tetap terjaga dalam hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan. Sungguh ironis.
Kembali ke Palembang. Arya Damar memperhatikan kedua putranya yang sedang giat berlatih ilmu kanuragan. Disamping itu, mereka juga memperdalam ilmu agama Islam. Beberapa hari berlalu, timbullah niat hati dari Raden Hassan untuk bertemu ayahnya, Prabu Brawijaya V, di kedaton Majapahit. Ia meminta izin ayah angkatnya, Arya Damar, dan ibunya, Siu Ban Ci. Siu Ban Ci tidak bisa menghalang-halangi keinginan putranya itu. Akhirnya setelah mempersiapkan berbagai perlengkapan dan bersiap, Hassan dengan adiknya, Hussein, pergi dari Palembang menuju kotaraja Majapahit di Antawulan.
Raden Hassan dan Raden Hussein tiba di pelabuhan utama Majapahit, Tãndhês. Disitu ia melihat keadaan Tãndhês yang hiruk-pikuk dan begitu ramai. Hassan membayangkan betapa besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Tãndhês juga banyak orang Muslimnya, Raden Hassan pun tertarik.
Ia singgah ke sebuah warung bersama adiknya, Raden Hussein untuk melepas lelah setelah perjalanan jauh. Dan kedengaran oleh Hassan bahwa di Tãndhês ada sebuah pesantren besar, Pesantren Giri namanya.
Raden Hassan memutuskan untuk bertandang ke Pesanten Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra dari Prabu Brawijaya V yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat adanya sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam ilmu ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide Ke-Khalifah-an Islam yang dicita-citakan oleh para ulama dan Sunan. Akhirnya militansi Raden Hassan mulai terbentuk. Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.
Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Hassan memilih daerah di pesisir Jawa bagian Tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir Utara Jawa bagian Tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel di Surabaya dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai bertandang di Pesantren Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Kerajaan Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.Misi yang dibawa oleh Raden Hassan ke Majapahit ini tentunya sangat membahayakan bagi Prabu Brawijaya beserta seluruh anggota Kerajaan Majapahit. Tak ayal, Sabda Palon sendiri dalam semedinya, ia melihat bahwa sebentar lagi Majapahit akan kedatangan armada tempur yang besar dari orang-orang Islam. Mereka yang semula karena kebaikan hati Prabu Brawijaya bisa memperoleh tempat untuk berdagang, mendirikan pesantren, memulai mengajarkan ajaran Islam, ternyata kini akan menjadi belalang-belalang pelahap dan pengerip yang berbahaya. Tidak disangka, sejauh ini gerakan militantsi orang-orang Muslim bisa berkembang dan tentunya Prabu Brawijaya sama sekali tak bisa memahami pola pikir orang-orang Muslim itu. Terutama pada diri anak kandungnya sendiri, Raden Hassan atau Raden Patah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabu Dewatanegara
AcakPada tahun 1490 Masehi, Tanah Jawa memasuki era baru dimana kerajaan-kerajaan Islam telah berdiri dan mulai mengibarkan panji-panjinya, melakukan perluasan wilayah kemana-mana, dan memerangi segenap kekuatan kerajaan Hindu-Buddha lain yang tersisa...