Pupuh VIII

285 10 3
                                    

Pagi-pagi buta yang masih gelap. Cahaya sang Surya masih belum menyentuh Mayapada ini. Gemerisik dedaunan yang jatuh dari pohonnya menggelitik gendang telinga. Butir-butir embun, yang berjatuhan karena terbelai oleh angin ke bumi, telah bersatu dengan kabut yang kian tak memudar, menambah suasana asri di pagi hari ini. Burung-burung di udara beterbangan kian kesana kemari, angin sepoi-sepoi yang lembut nan sejuk, dan penduduk yang sudah keluar dari rumahnya untuk bercocok tanam dengan ladang pertanian mereka. Anak-anak kecil berlari-lari dari satu ladang ke ladang lain, ada yang sedang mengurusi ternak atau hewan gembalaan mereka, dan ada juga yang langsung berenang menceburkan diri ke air sungai yang dingin di pagi hari. Tampanya penduduk Blambangan sangat senang dan begitu mencintai tanah kelahiran mereka. Tidak terkecuali rakyat Majapahit yang tersisa. Mereka ada yang berlindung di hutan-hutan pedalaman Blambangan, ada yang menetap di gunung, dan ada juga diantara mereka pergi menetap ke 'Alas Purwa', tempat dimana para makhluk halus (Jin, setan, iblis, lelembut) berdiam disitu.

Prabu Brawijaya, Raden Kêrtãbhûmi, bersama kedua abdi terkasihnya, Sabda Palon dan Naya Genggong, memilih pergi meninggalkan tempat dimana mereka menetap di Blambangan dan mereka mulai menuju ke daerah Jawa Tengah. Untuk menghindari serangan atau tegur sapa dari pihak orang-orang Islam, baik orang-orang Demak Bintara, rakyat biasa yang sudah jadi Islam, atau sekutu-sekutu Demak di wilayah Jawa Tengah, mereka memakai sehelai pakaian kain dari kulit kayu, seolah seperti sosok seorang 'Pandhita' yang akan melakukan perjalanan Tirthayatra. Ya, Prabu Brawijaya sudah membulatkan tekadnya, ia tidak mau kembali ke Kotaraja Antawulan dan memilih menghabiskan sebagian besar masa kehidupan terakhirnya sebagai tugas seorang Ksatria yang harus menyelesaikan 'Dharma' terakhir. Bersama Sabda Palon dan Naya Genggong, Prabu Brawijaya, Raden Kêrthabhûmi, segera menapakkan kakinya di pagi yang dingin itu menuju ke Jawa Tengah.

Perjalanan yang hanya mengandalkan langkah kaki memang akan ditempuh sangat lama. Seharian tidak akan cukup untuk membuat mereka sampai ke Jawa Tengah, apalagi setelah mendapati masih ada banyak pasukan mata-mata dan telik sandi yang disebar oleh Demak. Jika sedikit saja ketahuan, maka habislah sudah. Prabu Brawijaya, Raden Kêrtabhûmi, sudah sering menghadapi hal ini, bahkan sebelum ia menjadi Raja Diraja di Majapahit. Dulu, Raden Kêrtabhûmi adalah raja Yuwaraja di Kedaton Kêrtabhûmi, ia bertahta sejak tahun 1451 Masehi. Manakala paman beliau, Prabu Girishawardhana Dyah Suryawikrama, menjadi Bhatara Prabu di Majapahit, tahun 1455 Masehi Raden Kêrtabhûmi berpindah dari Kedaton Kêrtabhûmi ke Keling bersama kedua kakaknya, Girindrawardhana Dyah Wijayakarana dan Singawardhana Dyah Wijayakusuma. Setelah kedua kakaknya wafat ketika memerintah di Kéling, otomatis pemerintahan berganti ke tangan adik bungsu mereka, pamungsu dari Rajasawardhana Dyah Wijayakumara 'Sang Sinagara', yaitu Raden Kértabhûmi. Ia bertahta di Keling dengan gelar 'Bhatara I Kling', sejak tahun 1456 sampai tahun 1473 Masehi. Tahun 1474, setelah paman dari Raden Kêrtabhûmi wafat, yaitu Bhre Pandan Salas III dan Bhre Tumapel IV akibat kudeta yang dilancarkan oleh ketiga kakaknya, ia berhasil merebut kembali tahta Ayahandanya, Rajasawardhana Dyah Wijayakumara 'Sang Sinagara', dan pertengahan tahun 1474 Masehi Raden Kertabhumi naik tahta di Majapahit dengan gelar 'Prabu Brawijaya' atau 'Brawijaya V'. Seharusnya Dyah Samarawijaya, kakak tertuanya, sang Bhre Kahuripan VII, menjadi raja di Majapahit. Namun akibat pertempuran dengan pamannya dan pasukan Majapahit lain, ia tewas dalam pertempuran tersebut walau berhasil menguasai Kedaton Majapahit. Samarawijaya disebut 'Sang Munggwin Jinggan', dan dalam inskripsi Prasasti Petak tahun 1486 Masehi yang dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, disitulah diceritakan panjang lebar bagaimana pertempuran antara anak-anak Sang Sinagara melawan Majapahit yang dipimpin oleh Dyah Suraprabhawa. Maka atas pertimbangan dari Dewan Sapta Prabu, didapat kesepakatan bahwa yang menduduki tahta Majapahit selanjutnya adalah keturunan dari Rajasawardhana Dyah Wijayakumara 'Sang Sinagara', yaitu Raden Kêrtabhûmi, dan ia dikukuhkan menjadi Prabu atas Majapahit.

Prabu DewatanegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang