Pupuh VI

166 5 0
                                    

Pasukan Demak Bintara dengan segenap bala tentaranya merangsek maju untuk menyerang Kota raja Majapahit. Sebentar lagi mereka akan sampai ke Ibu Kota Kerajaan. Percaya atau tidak, Prabu Brawijaya mendengarkan laporan tersebut. Laporan pasukan Telik Sandi selama ini telah menjadi kenyataan. Namun, Sang Prabu sama sekali tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin putranya sendiri, Raden Patah, berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani mengadakan perbuatan makar seperti itu. Dan selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sungguh menyakitkan! Sesak sekali! Dada Prabu Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut mama Mahadewa, Bhatara Siwa, berulang kali.

Seluruh pembesar Majapahit sangat tegang. Mereka menantikan komando penyerangan dari Sang Prabu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabu masih ragu dan belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan Islam  sudah memasuki wilayah Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah Daha, sudah teramat dekat dengan Ibu kota Kerajaan. Pertempuran-pertempuran kecil penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan semua telah masuk menjadi laporan bagi Prabu Brawijaya. Bahkan, ada lagi laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang sudah menjadi Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan dari Demak ini. Adipati Kertosono mengirimkan utusan khusus kepada Sang Prabu Brawijaya untuk segera mengeluarkan perintah perang!

Kelihatannya, Prabu Brawijaya masih ragu dan tampak termangu-mangu. Manakala terdengar Adipati Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah Prabu Brawijaya tersadar! Segera beliau memberi perintah kepada seluruh pasukan dan laskar Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar. Kini Prabu Brawijaya tidak main-main; Beliau mengerahkan seluruh kekuatan terbaik Kedaton Majapahit untuk menyerang Demak Bintara sampai titik darah penghabisan. Awalnya beliau ragu dan tidak mendapatkan 'angin segar' karena beliau masih menyimpan kasih kepada putranya, Raden Patah itu. Namun begitu kedua penasihatnya, Sabda Palon dan Naya Genggong memberikan sedikit penjelasan mengenai gambaran kekuatan pasukan Demak Bintara, Prabu Brawijaya segera bangkit dari tahtanya lalu bersiap untuk berperang. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh seorang Ksatria sebesar Prabu Brawijaya sendiri. Semuanya dipertaruhkan dalam perang besar ini!

Para panglima dan Senopati yang sudah lama menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan dan laskar terbaik Majapahit yang lain segera mempersiapkan diri. Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk 'Menyerang!'. Perintah penyerangan dari sang Prabu tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap sedia di barak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar biasa. Di Istana, Para mentri resah, demikian pejabat-pejabat Kerajaan Majapahit lainnya. Melihat situasi ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong meminta, supaya Sang Prabu Brawijaya untuk segera mengeluarkan perintah penyerangan. Namun apa jawaban Sang Prabu ? Beliau masih tidak yakin pasukan Demak Bintara akan tega menyerang Majapahit. Sabdo Palon dan Naya Genggong menandaskan, cara berpikir Raden Patah dan para pasukan ini sudah sangat lain. Jelas, Sang Prabu Brawijaya tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal! Pada saat ini, tidak ada cara lain.

Ketika pasukan Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Kerajaan Majapahit, disana mereka mengadakan perusakan yang hebat. Melihat situasi kondisi yang mencengangkan dan membuat geger Majapahit ini, seperti disentuh oleh tangan lembut Sang Hyang Resi Agatsya,  Prabu Brawijaya mengeluarkan perintah penyerangan!

Dan hari itu, peperangan yang besar terjadi di medan laga!

Inilah peperangan besar yang berdarah-darah! Darah tertumpah kembali! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung. Dan di pihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurit Majapahit mengamuk di medan laga. Para prajurit yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani di seluruh Nusantara, sekarang tidak main-main kembali. Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawan, Adipati Terung Raden Kusen, Adipati Singosari, dan yang lainnya ikut mengamuk dalam perang besar ini untuk meruntuhkan serangan laskar Demak Bintara. Namun sayang, ternyata banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang berasal dari daerah yang sudah Muslim, berbalik membelot. Pada hari pertama pertempuran, pasukan Demak Bintara berhasil terpukul mundur dari wilayah Ibu Kota Majapahit.

Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung, tewas. Melihat Senopatinya telah tewas, Pasukan Demak banyak yang mengundurkan diri. Pasukan cadangan pun masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah. Bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan laskar Majapahit. Mereka terpukul mundur dan keluar dari ibukota Kerajaan. Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal seantero Nusantara itu, ternyata terbukti.

Pasukan Demak memilih untuk bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang yang bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak. Pasukan Palembang diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan pangan ludes tak bersisa.

Majapahit kebobolan luar dan dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu. Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan Majapahit mulai terpukul mundur. Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Bekel pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus Pengawal  Raja dan keluarga istana, segera mengamankan Prabu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian genting, dan Sang Prabu Brawijaya, mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan kembali kesatuan kekuatan tentara Majapahit, sosok Prabu Brawijaya masih dibutuhkan. Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabu Brawijaya, bersama keluarga istana lain, menteri, dan pejabat istana lain, segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabu menyelamatkan diri ke Blambangan. Karena disana masih ada pihak Blambangan yang masih menaruh harapan dan kepercayaan pada Prabu Brawijaya dan Majapahit. Ditengah kekacauan yang melanda Majapahit itu, Dewi Amaravati diam-diam dibawa oleh pasukan Islam Demak ke Giri Kedaton. Dan pada akhir hayat dari Prabu Brawijaya, kabarnya Dewi Amaravati sudah tidak ada lagi di Tanah Jawa. Bisa jadi ia pulang kembali ke Champa dengan diam-diam untuk meloloskan diri karena ia biang dari semua 'pralaya' yang menimpa Majapahit. Tetapi bisa juga, Amaravati wafat dan dimakamkan entah dimana. Pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh bangunan istana yang megah itu, dirusak dan dibakar! Perusakan besar-besaran karena ulah pasukan Demak Bintara terjadi dimana-mana.

Dan pada akhirnya, perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer, Majapahit dan Demak, kini menjadi perang sipil. Mereka yang merasa 'Di Atas Angin', kini menjadi sosok malaikat maut pencabut nyawa. Pertumpahan darah besar-besaran kembali terjadi. Masyarakat Majapahit, yang kala itu masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara terang-terangan dengan mereka yang telah berpindah keyakinan. Tidak peduki itu kawan, sahabat, atau bahkan musuh. Apapun yang mengatasnamakan 'Islam', di bumi Majapahit ini, pasti akan diperangi sampai akar-akarnya. Ternyata mereka banyak yang tewas di tangan orang-orang Demak Bintara. Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi. Dimana-mana terjadi bentrokan berdarah. Dimana-mana kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu Pertiwi menangis sedih. Ibu Pertiwi terluka hatinya! Ia melihat, bahwa putra-putranya, kini saling menumpahkan darah hanya karena pada salah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’. Akibat tragedi yang mencabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Majapahit, seperti gapura, candi pendharmaan, candi pemujaan, kolam, kanal-kanal ibukota Kerajaan Majapahit, rumah-rumah penduduk, dan sebagainya musnah tak berbekas. Majapahit kini ludes di babat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka, karena banyak peninggalan dari zaman keemasan Nusantara ini, hancur karena kepicikan dan kebodohan mereka yang tidak menghargai kebesaran dan kejayaan leluhur. Hanya sedikit yang tersisa, dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang ini.




Prabu DewatanegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang