Cerita Kita

87 5 0
                                    

Aku sedang bersandar di balkon apartemenku, menatap hiruk pikuk kota New York yang bersalju. Bagaimanapun, kota ini sudah mampu mengalihkan rasa sakit hatiku atas penghianatan yang dilakukan Brian kepadaku.

"Menikmati udara dingin?" suara itu berasal dari pintu balkon.

"Begitulah," jawabku.

"Aku sering pergi keluar negeri. Tapi belum pernah melihat salju. Ini pertama kalinya untukku." Ia memulai. Aku masih diam.

"Bagaimanapun, kau adalah penyelamat hidupku, Kay," katanya sambil menatapku. Tatapannya begitu lembut, aku hampir terhanyut dalam tatapannya. Jadi, aku membuang pandanganku pada kota New York lagi.

"Kehidupanmu begitu diatur oleh papamu?" tanyaku spontan.

"Ya. Dia menyediakan semua yang aku butuhkan dan inginkan. Sebagai gantinya, aku harus menuruti segala keinginannya, masuk ke jurusan bisnis sesuai keinginannya, membantu mengurus perusahaan, membawa image baik di depan semua orang, tapi yang terakhir, soal pernikahan, aku benar-benar tidak bisa. Pernikahan adalah sesuatu yang penting. Aku tidak bisa bermain-main dengan itu," jelasnya lengkap.

"Aku tahu. Aku juga sudah pernah terjebak di dalamnya," kataku.

"Maksudmu? Kau juga sudah pernah dijodohkan? Apakah cerita kita sama?" tanyanya.

"Sedikit persamaan, meski lebih banyak perbedaan," jawabku.

"Kau tidak mau menceritakannya?" tanyanya. Aku diam. Berpikir.

"Aku menerima perjodohan itu." Aku memulai. Ia diam, menunggu.

"Aku menikah dengan pria yang dijodohkan denganku," sambungku. Aku melihat wajahnya, ekspresinya berubah.

"2 tahun yang lalu aku dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis papaku. Namanya Brian. Kami menjalani pernikahan yang normal selama 6 bulan pertama. Tetapi setelah itu, aku merasakan perbedaan pada dirinya. Dia tidak pernah lagi memandangku ketika kami sedang melakukan, kau tahu, hubungan suami istri." Arian masih memandangku tanpa tanda-tanda akan berbicara. Jadi aku melanjutkan.

"6 bulan setelahnya semuanya terbongkar. Dia berselingkuh... dengan seorang pria." Kali ini ekspresi Arian benar-benar berubah. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu, namun ia menahannya.

"Dia... biseksual. Dia memilih menikah denganku agar dia bisa benar-benar menjadi normal. Tetapi pada akhirnya dia sadar, dia lebih merasa nyaman menjalin hubungan dengan pria," lanjutku.

"Jadi aku langsung minta cerai dan pergi ke sini. Ke kota ini. Aku ingin menyibukkan diri. Aku ingin melupakannya. Dan satu tahun kurasa sudah cukup membuatku banyak melupakan tentang dirinya." Tutupku. Arian masih diam.

"Aku sudah selesai."

"Rasanya pasti sangat mengerikan," ucapnya.

"Begitulah."

***

"Apakah kau bekerja hari ini?" tanya Arian ketika aku sedang asyik menyaksikan acara di televisi.

"Tidak," jawabku singkat tanpa melihat wajahnya.

"Apakah kau punya acara yang akan dihadiri atau janji?" tanyanya lagi. Kali ini aku menatap wajahnya.

"Tidak," jawabku lagi.

"Bagus! Bagaimana kalau kita keluar sebentar? Sekedar berkeliling?" ajaknya.

"Aku ingin istirahat. Sedang ingin bersantai di rumah."

"Ayolah. Aku sudah menghabiskan 3 hari tanpa melangkah keluar rumah sama sekali. Aku mohon." Wajahnya memelas.

"Mungkin sebaiknya kau mencari kesibukan. Seperti... bekerja."

"Bekerja? Sebagai apa?" tanyanya. Nada suaranya berubah ragu.

"Entahlah. Yang penting dapat menghasilkan uang. Kau tidak berniat menumpang hidup pada kami terus menerus kan?" Aku tahu kata-kataku sudah keterlaluan, namun kurasa hanya kata-kata itu yang dapat menyadarkan anak manja seperti dia. Meski aku tau apa jawaban yang akan ia berikan.

"Aku akan membayar semuanya setelah semua masalahku selesai. Aku janji." Dan perkiraanku tepat.

"Kapan masalahmu selesai? Kau mungkin bahkan tidak akan hidup hari ini jika aku tidak membawamu kesini." Kata-kataku semakin tajam.

"Tapi aku..."

"Dengar, satu tahun yang lalu aku juga berada diposisimu. Aku tahu apa yang kau rasakan, aku tahu apa yang kau pikirkan saat ini. Apapun alasan yang kau berikan, aku sudah melewati semua pikiran itu. Jadi, alasan apapun yang akan kau berikan, aku tidak bisa menerimanya," tandasku.

"Jadi..." ia berpikir, "kau benar-benar meninggalkan segalanya saat memutuskan untuk pergi?" tanyanya. Nada suaranya berubah.

"Ya. Karna aku tahu, aku tetap tidak akan mampu melanjutkan hidupku meski aku ada disana dan punya banyak waktu untuk itu."

"Hm... Aku punya sebuah pertanyaan. Bolehkah aku menanyakannya?" tanyanya lagi. Aku hanya diam tanpa menjawab. Lelaki ini penuh dengan basa basi.

"Baiklah aku akan langsung bertanya saja," putusnya akhirnya. "Begini, apa papamu tau kau pergi kesini dan meninggalkan semuanya?" mulainya.

"Ya. Dia tau," jawabku langsung.

"Dia mengizinkanmu?" tanyanya lagi.

"Kau bilang hanya 'sebuah' pertanyaan."

"Baiklah.. Baiklah.. Beberapa. Beberapa pertanyaan. Dan akan langsung kulanjutkan tanpa basa basi lagi. Jadi, apa jawabanmu?"

"Dia tidak punya pilihan. Dia yang membuatku terjebak dalam masalah ini."

"Apa kau membencinya?" tanyanya lagi.

"Tidak. Bagaimanapun, dia itu papaku. Lagipula, dia juga tertipu, kami semua tertipu." 

"Termasuk mertuamu?"

Aku mengangguk. Kemudian suasana hening cukup lama.

"Kau sangat mencintainya, ya?" Arian memulai lagi.

"Papaku?"

"Bukan. Mantan suamimu. Brian." Ia terdengar hati-hati.

Aku terdiam. Aku tak mampu mungucapkan sepatah katapun untuk menjawab pertanyaan itu. Maksudku, ya, aku sangat mencintai Brian. Dulu. Tidak. Sekarang pun aku masih mencintainya. Tapi haruskah aku mengaku pada lelaki ini? Lelaki yang kutemukan di tengah salju tiga hari yang lalu? Siapa lelaki ini sebenarnya? Apakah dia orang suruhan Brian? Artinya, Brian sudah menemukanku?

"Baiklah jika kau tidak mau menjawab. Maaf karna sudah terlalu banyak bertanya. Aku akan keluar sebentar. Berjalan di sekitar sini saja. Mencari udara segar. Sampai jumpa." Ia beranjak pergi. Aku hanya mengangguk sambil menonton TV, meskipun aku tahu, pikiranku tidak berada pada acara TV itu, tetapi pada hatiku, perasaanku.

***

Gimana? Gimana? Hehehe

Cerita masa lalu mereka akan berakhir disini. Selanjutnya akan menceritakan tentang kehidupan mereka selanjutnya.

Silakan beri komentar, vote dan share yaa..

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang