James

79 2 1
                                    

"Kau akan pergi kemana?" tanyaku pada Giselle yang sudah terlihat rapi dan feminin.

"Kemana lagi? Kencan." Ia tersenyum centil.

Aku mengangguk. Berjalan menuju dapur, membuat sarapan.

Giselle memang selalu meghabiskan akhir minggunya bersama James.

James. Seorang pria tampan dan baik hati. Ia lahir dan besar di Amerika. Dia memiliki darah campuran Indonesia dan Amerika. Kakek dari ibunya adalah orang Amerika asli. Dan meskipun keluarga dari ayahnya adalah orang Indonesia asli, James mewarisi wajah kakeknya secara total. Dia sangat mirip dengan kakeknya, seperti copy paste. Dengan kata lain, dia sangat tampan! Aku bahkan masih ingat wajah tertawa Giselle dan James saat melihat wajah melongoku yang terkejut James bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Tapi aku selalu bahagia melihat kebersamaan dua sejoli itu. Mereka tampak saling menyayangi dan menjaga. Tidak seperti hubungan percintaanku yang, lebih baik tidak perlu diungkit.

Aku sedang mengunyah sandwhich-ku ketika mendengar ketukan pintu. Mungkin Arian meninggalkan sesuatu sebelum pergi berolahraga. Setelah kejadian tadi malam, kami tidak saling bicara pagi ini. Arian sudah pergi sebelum aku bangun tidur. Dia hanya meninggalkan pesan di pintu kulkas kalau dia pergi untuk berolahraga. Giselle juga sudah pergi untuk berkencan dengan James.

Aku bangkit dan melangkah menuju pintu dan langsung membukanya. Tapi bukan Arian yang berdiri disana, melainkan James. Ia tersenyum ramah padaku.

"James? Bukankah kau memiliki janji bersama Giselle?" tanyaku padanya.

James melangkah masuk.

"Ya. Aku memang punya janji dengannya, tapi aku berbohong. Aku berencana akan melamarnya hari ini, disini. Bisakah kau membantuku?"

"Benarkah? Itu sesuatu yang luar biasa! Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?"

"Aku ingin kau berpura-pura sakit dan membutuhkan perawatan. Bukankah hal itu akan membuatnya terburu-buru untuk datang kesini? Lalu aku akan berdiri di depan pintu dan...kejutan!" James tersenyum lebar.

"Itu akan menjadi hal yang sangat romantis, James! Baiklah, aku akan membantumu."

"Kalau begitu, bisa kau hubungi dia sekarang juga?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Aku meninggalkan ponselku di kamar. Aku akan mengambilnya."

Aku berjalan menuju kamar terburu-buru tanpa menutupnya. Aku mengambil ponsel lalu berbalik. Aku hampir menjatuhkan ponselku saat melihat James sudah berdiri tepat dihadapanku. Aku melirik ke arah pintu kamar yang sudah tertutup.

"Aku tahu kau selalu meninggalkan ponselmu di kamar." James berbisik.

"James, apa yang kau lakukan?" Aku mundur sedikit, jarak kami terlalu dekat.

James menatapku, lalu dalam hitungan sepersekian detik ia menciumku begitu intens. Aku terkejut dan berusaha menjauhkannya dari tubuhku. Tapi James tidak melepaskan ciumannya. Ia kemudian mendorongku ke tempat tidur lalu mencengkeram kedua tanganku dengan hanya satu tangannya. Aku berusaha memberontak tapi aku tidak berdaya. Tenaganya terlalu kuat untuk kulampaui.

"James! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!?" Aku meronta.

"Tenanglah, sayang. Aku sudah menunggu cukup lama untuk hal ini. Jadi mari kita nikmati saja."

Ekspresi wajahnya benar-benar berubah. Ini bukan James yang biasanya. Dan kini tangannya mulai memasuki kausku, ia mencoba meraih pengait bra-ku.

"James, kumohon hentikan! Ini tidak benar." Aku memohon.

James menghentikan aktivitasnya. Ia menatapku.

"Tidak. Tidak kali ini. Kau tahu berapa lama aku merencanakan semua ini? Bagaimana aku sudah menahan keinginanku selama ini? Aku sangat menginginkanmu! Aku benci melihatmu tertawa bersama bosmu! Aku benci melihatmu akrab dengan lelaki sialan itu! Oh, sebagai informasi, dia tidak akan menolongmu kali ini. Sepertinya dia tidak akan pulang, atau mungkin pulang? Pulang untuk selamanya." James tertawa.

Jadi itukah alasannya? Itu alasannya membenci Danny? Dan Arian? Apa yang terjadi padanya? Lalu...Giselle? Dia akan sangat terpukul jika hal ini benar-benar terjadi.

"Pikirkan soal Giselle, James. Dia akan sangat terpu-"

James mendekap bibirku dengan bibirnya. Ia sudah berhasil mencapai pengait bra-ku meskipun aku sudah berusaha semaksimal mungkin menghalanginya. James menciumku intens dan penuh nafsu hingga aku kesulitan bernapas.

"James kumohon!" Aku terus meronta.

"Jadi kau lebih suka permainan yang kasar? Baiklah. Aku akan melakukan sesuai keinginanmu, sayang."

Ia melanjutkan, masih berusaha meraih bagian penting diriku. Ini tidak bisa diteruskan. Aku kembali memberontak sekuat tenaga, mencoba menghalanginya, tetapi yang ia lakukan justru merobek kausku.

Pergelangan tanganku terasa perih, sepertinya cengkeraman James melukaiku. Tapi aku harus tetap melakukan sesuatu.

"Baiklah!" teriakku. James menghentikan aktivitasnya.

"Aku akan melakukannya. Kita akan melakukannya dan semuanya akan berjalan seperti biasa, bukankah itu keinginanmu?"

"Kau akan melakukannya? Aku tahu kau juga pasti menyukaiku." James tersenyum.

"Kalau begitu, bisakah kau membebaskan tanganku? Kau melukaiku," pintaku.

"Baiklah, sayang." Ia melepaskan genggamannya.

Dalam hitungan detik, aku meraih gelas yang terlelak di atas meja lalu memukul kepalanya dengan keras. Darah mengalir dari kepalanya. Aku lalu menendangnya dan menggunakan semua kekuatanku untuk berlari. Aku sedang tidak dalam kondisi baik. Bajuku robek dan tubuhku terluka. Cukup memalukan untuk pergi keluar dalam keadaan seperti ini. Tapi aku tidak peduli. Hal apapun lebih baik daripada diperkosa oleh pacar sahabatmu sendiri!

Aku terus berlari menuju lift. Aku tahu James akan menangkapku jika aku menggunakan tangga. Jantungku berdebar sambil terus menekan tombol lift. Lift akhirnya bergerak. Aku akhirnya mampu menghela napas. Aku kehabisan tenaga. Yang harus kulakukan ketika pintu lift ini terbuka adalah berteriak minta tolong. Hanya itu yang dapat menyelamatkanku.

Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Tetapi jantungku kembali berdebar ketika melihat James berdiri disana dengan darah di kepalanya. Aku harus berteriak, tapi kenapa bibirku kelu? James tersenyum melihatku tak berdaya, ia langsung melangkah masuk dan menutup pintu lift-nya. Sepertinya aku akan diperkosa di dalam lift.

Aku menutup mataku, hanya mampu berharap seseorang akan menekan tombol lift sebelum lift ini bergerak. Aku merasakan sesorang menyentuh pundakku ketika mendengar pintu lift terbuka. Aku membuka mata. Seseorang berdiri disana, seperti sesosok pria. Aku tidak bisa melihatnya karena tertutupi tubuh James.

"Tolong aku," gumamku pelan. Aku sudah menghabiskan seluruh tenagaku.

Pria itu menarik tubuh James. Aku menutup mataku, tidak berani melihat apa yang terjadi. Suara pukulan terdengar begitu dekat, hingga aku mendengar sebuah suara tubuh yang ambruk. Lalu aku mendengar suara seseorang berbicara kepadaku.

"Kau tidak apa-apa?" suara itu familiar, aku membuka mataku memastikan.

Pria itu berdiri disana. Menatapku khawatir. Tubuh James tergeletak tak jauh dari sana.

"Kay, kau baik-baik saja?" tanya pria itu lagi. Pria ini mengenalku, dan aku mengenalnya.

"Brian?" hanya itu kata terakhir yang kuingat sebelum semuanya gelap.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang