Sebuah Jawaban

74 3 2
                                    

Ini bukan pagi yang biasa. Ini pertama kalinya aku mengawali pagiku di rumah sakit. Aku tidak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya karena keluargaku sangat menjaga kesehatanku. Aku duduk. Menatap sekeliling. Tubuhku terasa jauh lebih baik pagi ini. Aku merenggangkan tubuh, masih terasa sakit di beberapa bagian tapi tidak terlalu parah.

Pintu terbuka. Aku refleks menatap ke arah pintu. Giselle melangkah masuk. Sedikit berhenti ketika melihatku, tetapi kemudian lanjut berjalan ke arahku. Ia berhenti, menatapku, kemudian tersenyum. Aku bahkan tak sanggup membalas senyumnya. Bagaimana bisa ia bertemu denganku setelah apa yang terjadi? Dan bagaimana bisa dia tersenyum padaku? Kenapa dia tidak menyerang dan memakiku saja? Kurasa itu lebih baik dibandingkan melihat senyumnya. Bukan karena aku membencinya. Tetapi rasa bersalahku semakin bertambah ketika melihat senyumnya. Kalau saja, satu tahun yang lalu aku tidak memilih untuk tinggal bersamanya, maka semuanya pasti akan baik-baik saja.

Sebelum aku sadar, Giselle sudah memelukku.

"Giselle?"

"Tidak apa-apa, Kay. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu merasa bersalah."

"Aku bersalah, Giselle. Tidak seharusnya aku masuk ke hidup kalian. Aku tidak—"

"Tidak. Tidak ada yang harus disalahkan dalam hal ini. Semuanya sudah terjadi, dan mungkin memang harus terjadi."

Tangisanku pecah. Aku tidak bisa. Semua ini salahku. Giselle masih terus memelukku sambil mengucapkan kata-kata penenang. Tapi, hidup satu tahun bersamanya, aku tahu dia tidak baik-baik saja. Aku tahu dia sedang mencoba menghibur dirinya sendiri. Aku tahu dia hancur. Aku tahu betapa cintanya dia pada James. Dan semua ini? Pasti sangat berat.

***

Giselle membawaku ke kamar Arian di rawat. Dan sesuai dengan yang dikatakan Brian, kamar Arian memang tepat disebelah kamarku. Mataku masih bengkak sehabis menangis, tetapi aku sangat ingin melihat kondisi Arian saat ini.

Ketika aku masuk, Arian masih tertidur lelap. Jadi, aku duduk di kursi sambil menatap wajahnya yang penuh luka. Perban menempel di wajahnya. Ada juga beberapa bekas luka yang terlihat jelas di sana. Dan aku ingin menangis lagi.

Giselle pamit untuk membeli makanan. Dia belum makan apapun sejak kemarin, dan hari ini perutnya terasa sangat lapar. Jadi, aku menunggu sendiri sambil terus menatap Arian.

"Maafkan aku," gumamku.

"Tidak perlu minta maaf." Suara itu mengagetkanku. Arian menatapku dengan mata sayunya.

"Kau sudah bangun?"

"Belum." Ia tersenyum menggodaku. Aku hanya diam.

"Aku tahu persis apa yang kau rasakan saat ini, tapi percayalah, kau tidak perlu merasa begitu."

"Aku tidak bisa melakukannya. Akulah penghubung kalian semua. Akulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Kehadiranku—"

Arian menggenggam tanganku, membuatku berhenti berbicara. Ia menatapku lama sampai akhirnya bersuara.

"Aku tidak memintamu melupakannya tanpa alasan. Aku dan Giselle sudah membicarakannya kemarin, dan kami sudah sepakat," ucapnya.

"Sepakat apa?"

"Bahwa memang semuanya harus terjadi. jika dirimu tidak adapun, kita tidak bisa menjamin James tidak akan berselingkuh dan melakukannya dengan wanita lain. Meskipun..." Arian menggantung ucapannya.

"Meskipun apa?" tanyaku tidak sabar.

"Meskipun aku tahu, bahwa James sebenarnya sangat mencintai Giselle."

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang