Kesalahan (2)

40 2 0
                                    

"Ini." ucap Giselle sambil memberikan sebuah benda padaku.

"Apa ini?" tanyaku.

"Apa kau bukan seorang wanita?" tanya Giselle yang lebih terdengar seperti sindiran. Aku hanya mengangkat alis.

"Test pack. Namanya test pack. Benda yang bisa mengetes kehamilan," lanjutnya putus asa.

"Jika ada benda seperti ini, kenapa kau baru memberitahuku sekarang?" protesku.

"Yah, kau sepertinya menikmati hari-harimu ketika kau masih menunggu Arian kembali. Jadi, aku pikir, kenapa tidak membiarkanmu bersantai lebih lama?" Giselle mengangkat bahunya.

"Lalu satu minggu terakhir?"

Giselle menghela napas sambil mengusap keningnya.

"Kay, kau sadar kau sudah mengurung dirimu di kamar selama satu minggu dan tidak membiarkan siapapun masuk?"

Aku diam. Aku mengerti. Aku pulang dalam keadaan mengenaskan satu minggu yang lalu setelah bertengkar dengan Arian. Mataku bengkak dan wajahku merah. Giselle segera mengejarku lalu bertanya apa yang terjadi. Lalu aku menceritakan semuanya. Setelah itu, aku mengurung diri di kamar dan tidak membiarkan siapapun masuk. Makanan diletakkan di depan pintu kamarku dan aku akan mengambilnya tengah malam ketika semua orang sudah tidur. Aku hanya tidak mau bertemu dengan siapapun. Tanpa kusadari waktu sudah berjalan satu minggu dan kupikir sudah saatnya aku berhenti menyembunyikan diri. Jadi, ketika Giselle mengetuk pintu kamarku sore ini—yang sudah dilakukannya selama satu minggu ke belakang—aku akhirnya memutuskan untuk membukanya.

"Apakah aku bisa menggunakannya sekarang? Bagaimana cara menggunakannya?" tanyaku polos.

Giselle menghela napasnya lagi lalu memberitahuku cara menggunakan benda ini.

"Jika yang muncul 2 garis, maka kau positif hamil, jika hanya 1 garis yang muncul, maka itu artinya kau tidak hamil. Oh. Sebaiknya kau menggunakannya besok pagi. Urin pertama. Katanya hasilnya lebih akurat," tambahnya. 

Aku mengangguk. Itu artinya, besok aku akan mengetahui sebuah kenyataan penting dalam hidupku.

***

Aku hampir terlelap ketika pintu kamarku diketuk dengan buru-buru. Aku mengucek mata sambil berjalan menuju pintu. Suara Giselle yang memanggil namaku berkali-kali terdengar panik.

"Kay, segera bersiap. Kita akan segera ke rumah sakit," ucap Giselle—lebih seperti perintah—ketika aku baru saja membuka pintu. Wajahnya panik.

"Memangnya ada apa?" tanyaku kebingungan.

"Papamu mengalami serangan jantung. Sekarang sudah dalam perjalanan ke rumah sakit," jawabnya cepat. Dan tanpa merespon, aku berlari cepat menuju lemari pakaian dan mengganti baju, lalu bergegas pergi.

Papa sedang ditangani ketika kami tiba. Aku dan Giselle menunggu dengan gelisah. Papa memang memiliki riwayat penyakit jantung, dan serangan jantung bisa terjadi kapan saja jika dia mendengar kabar mengejutkan. Aku masih tidak tahu apa yang didengar papa hingga keadaanya menjadi seperti ini, aku akan mencaritahunya nanti setelah kondisi papa membaik.

Dokter keluar akhirnya, mengatakan bahwa kondisi papa sudah stabil. Aku berterima kasih lalu bergegas menemui papa. Papa dalam keadaan sadar, namun wajahnya masih pucat.

"Bagaimana kondisi papa?" tanyaku pada papa.

"Sudah tidak apa-apa. Jangan khawatir," jawabnya.

Aku mengangguk. Meski aku masih begitu khawatir, aku tidak boleh menunjukkannya agar papa tidak stres. Aku juga harus menahan pertanyaanku sampai papa benar-benar cukup sehat untuk menjelaskan apa yang terjadi.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang