Kevan
"Kayaknya gue suka sama lo."
Hampir saja gue memuntahkan isi perut gue yang terisi bakwan yang ia masak. Gue lihatin dia. Gue berharap dia terdiam dan lihatin gue. Nggak! Dia bahkan masih masak, seolah ucapan dia di jam 1 pagi dini hari ini normal, seperti obrolan cuaca dan film yang tayang di bioskop.
"Beneran? Serius?"
Ya nggak lah! Iya kan? Ini gue nggak lagi berkhayal kan? Apa efek jaga malam di rumah sakit selama 2 hari berturut-turut bikin gue jadi berhalusinasi? Dia menengok ke gue. Mukanya flat seperti biasa. Rambutnya yang dibiarkan tergerai sebahu itu tampak cantik seperti biasa. Padahal gue tahu dia baru saja pulang dari kantor tempat dia bekerja demi nyulik gue dari rumah sakit laknat yang bikin gue nggak tidur 2 hari.
"Lo nggak denger? Kayaknya gue suka..."
"Cha, cukup!" gue mengangkat tangan menyetop perkataannya yang bikin jantung gue mau loncat saking shocknya. Atau karena perkataannya yang bikin gue harus menghentikan dengan paksa jantung gue yang sudah goyang kemana-mana. Gue berharap setelah ucapannya yang bikin gue kaget dini hari ini, dia bakal ngomong 'ya nggak lah' sambil ketawa ngakak atau 'gimana kalo gue ngomong gitu sama cowok A, B, C? bakal awkward nggak sih?'
Tapi dia nggak gitu. Bayangin. Dia masih flat kayak biasa. Matanya itu bahkan nggak ada isinya. Kosong. Gue lebih percaya dia kerasukan hantu kantornya yang katanya angker itu pas dia ngomong gitu ke gue.
"Lo kenapa sih? Gue nggak boleh gitu suka sama lo?" dia membalikkan badannya dan meraih piring berisi bakwan hasil gorengannya tadi lalu meletakkan di depan gue.
Gue berdehem sebentar. "Kenapa harus gue, Cha?"
"Gue nggak tahu," katanya sambil mengedikkan bahu.
Jawaban itu seolah membuat gue berpikir panjang. Gue nggak tahu. Gimana bisa? Seharusnya gue nggak nelpon dia jam 1 dini hari ini nyulik gue ketika teman-teman sejawat gue pada tidur dan dia masakin gue seperti biasa. Dan harusnya dia nggak ngomong sembarangan kayak gitu ke gue. Karena gue belum siap ketika sahabat gue ini suka sama gue. Nggak akan siap.
***
Rasya
Banyak yang berpikir kalau suatu perlakuan romantis dari cowok yang disuka adalah ngasih bunga (yang sebetulnya aku nggak pernah tahu apa esensi dari perlakuan macam ini) atau mungkin ngasih jaket ke ceweknya pas ceweknya kedinginan (ini nggak ada romantisnya sama sekali sih, soalnya wajahku saat kedinginan benar-benar mengerikan) atau ngasih gombalan dan perhatian. Tahu nggak dari semua itu ada yang lebih romantis?
Sejak kecil aku membayangkan betapa yang lebih romantis adalah merawat cowok yang kita suka lagi sakit atau nggak dia yang bakal merawat kita. Ketika aku lagi iseng baca novel atau nonton film, aku suka ketika part adegan ini. Aku pikir aku akan melupakan segalanya ketika sudah dewasa. But no. Aku bahkan masih mengkhayalkan itu sampai sekarang dan membuatku bengong di kantor tadi malam, ketika akhirnya Kevan message minta nyulik dia dari rumah sakit.
Dan akhirnya aku bilang 'itu' di jam 1 pagi sama dia. Sebetulnya beneran suka nggak sih? Jawabnya fifty:fifty. Antara suka dan tidak. Aku nggak tahu. Ketika ada adegan itu di kepalaku, yang terlintas adalah wajah Kevan dan Kevan. Hanya itu. Selebihnya wajah Ryan Gosling dan wajah-wajah aktor yang mampir di kepalaku.
Kevan seorang dokter. Eh ralat, calon dokter. Masih menjalani koas yang bikin dia merasa bertanya-tanya kenapa dia dulu ngebet jadi dokter daripada profesi lain. Mungkin karena dia akan menjadi dokter, membuatku berpikir 'ah dia cocok jadi the best part romantic scene yang ku impikan'.
KAMU SEDANG MEMBACA
About (More Than) Friends
ChickLitRasya "Kayaknya gue suka sama lo" Kevan, calon dokter yang sudah jadi sahabatku dari jaman kuliah, pecinta bioskop tengah malam, si juara goyang kayang kalau lagi mabok. Dan aku suka sama dia. Sayang, harusnya aku nggak bilang begitu, kalau saja dia...