XI

128 4 0
                                    

Rasya

Ya aku kangen di mana kita selalu menertawakan hal yang nggak lucu sama sekali bagi kita. Tapi, entah kenapa kita selalu tertawa. Nggak penting sih memang, tapi, aku merasa keseruan dalam bersahabat dengan Kevan adalah saat kita nggak perlu punya alasan untuk tertawa. Detik ini aku menyadari bahwa, keseruan kita mulai memudar. Ya aku dan kamu memang salah, Van. Tapi, sudah terlanjur cinta dan kamu pun begitu juga kan, Van?

Selain, kita mulai sering tatap-tatapan canggung dan lama—dan tentu itu bahaya banget kalau kami meneruskan untuk saling memiringkan kepala!—Kevan juga mulai berubah. Aku tahu banget dia sudah nggak pernah merokok dan aku menemukan benda itu di dashboard mobilnya. Aku pulang dari rumah sakit setelah 2 hari rawat inap, dan seperti biasa Kevan mengantarkan aku pulang. Dia keluar sebentar untuk mengambil uang di ATM dan aku menunggunya di mobil. Hingga dashboard itu agak terbuka. Padahal aku tahu, dashboard itu terkunci saat aku membukanya.

Rokok itu mulanya utuh, dan hilang satu batang. Pantas aku mencium bekas asap di mobilnya! Aku cepat-cepat memasukkan kotak rokok itu di tasku dan mungkin akan membuangnya. Kalau kalian tahu sebetulnya walaupun Kevan baik, rajin ibadah, suka menabung, tapi, dia dulu nakalnya naudzubillah! Untung sih dia punya otak encer yang bisa membuatnya masuk kedokteran.

"Dih lo udik amat sih, ice skating aja nggak bisa," kata Kevan saat itu mengantarkan aku ice skating. Ya biasa lah, pengen sok-sokan kayak di luar negeri. Aku dan Kevan waktu itu masih kuliah dan dia mengajarkanku main ice skating. Dan tahu? Dia jago banget. Parah!

"Lo kok bisa sih?" tanyaku heran.

"Gue mah sering main ginian waktu kecil," jawab Kevan datar.

Aku tak semudahnya percaya dengan Kevan saat itu. Mana ada ice skating saat jaman-jaman kita masih kecil? Paling juga mentok main ding dong di Timezone.

"Gue tinggal di New Zealand kok dulu. Cuma sampai SMP sih." Aku yang mendengarnya terkejut. Dan mengalirlah cerita dia saat dia di New Zealand—dan aku yang akhirnya nggak jadi main ice skating.

Kevan lahir di New Zealand. Bokapnya yang dokter itu punya kesempatan untuk melanjutkan S2 di sana. Mungkin karena memang tinggal di luar negeri saat itu tergolong susah, dan bokapnya nggak kerja, orang tuanya mulai suka berantem. Kevan resmi jadi anak broken home saat itu. Dia nggak nakal sih sebetulnya, beruntung otaknya encer. Tapi, nakalnya lemot banget, baru SMA dia nyoba ngerokok, minum lah, segala macem. Ya sejak dia akhirnya tinggal di Indonesia dengan ibunya itu. Bahkan sampai kuliah aja dia masih suka ngerokok. Jadi hapus deh, persepsi tentang semua mahasiswa dokter itu baik-baik. Not at all. Dan Kevan mungkin adalah salah satu anak yang nakalnya kumat kalau lagi ada masalah. Salah satunya ya ini. Aku nggak tahu kalau pertengkaran kita kemarin membuat dia kembali berulah.

"Lo harus istirahat total. Nggak boleh kerja 3 hari lah paling nggak. Nggak boleh kecapekan juga, terus obatnya diminum..."

Aku menghela napas mendengar omelannya. Ya ini kalau dia bersikap menjadi dokter, menyebalkan. "Van..."

"Ya?"

"Lo udah bilang itu 5 kali," kataku sambil mendengus kesal.

Kevan udah bilang semua omelannya itu 5 kali, sejak kami terhitung keluar rumah sakit dan setelah kami sampai di apartemen. Dia hanya terkikik geli dan duduk di sofa sampingku. Tangannya terangkat dan mengacak anak rambutku.

"Gue cuma pengen lo sembuh, Cha," katanya lembut dan sudut bibirku terangkat geli. "Dih, lo kok kayak ngejek gue gitu?"

"Ya nggak. Lo tuh... nggak pernah gini. Gue jadi geli," kataku sambil mengalihkan pandangan.

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang