Kevan
"Enak ya, Van kemarin chill out sampai hangover gini?"
Gue bangun dan merasakan kepala gue masih berat. Gue udah nggak sanggup buka mata dan entah gue merasa ada jarum yang ditusukkan di lengan gue. Seorang cewek dengan jas putih berada di sisi gue dan menyuntikkan suntik ke lengan gue.
"Ulangin aja lagi. Untung tadi Dokter Gery nggak tahu, anak koasnya liar kayak gini," omel cewek itu dengan nada gusar. "Jangan lupa lo harus bayar atas tindakan gue ini."
Gue berusaha menyipitkan mata, berharap gue bisa dengan jelas menatap cewek itu. Tapi, masih kabur. Sebetulnya gue minum jenis alkohol apa sih bisa tepar begini?
Cewek itu berlalu dan tak lupa menutup tirai pembatas. Gue menyadari bahwa gue di bed UGD. Yeah, Van, ketika pasien elo biasanya merasakan bed ini, lo malah ikut-ikutan tidur di sini. Gue perlahan-lahan dapat melihat dengan jelas dan mengambil iPhone dari meja di sebelah gue. Tadi telinga gue dengan jelas mendengar suara dering dari iPhone gue.
"Halo?"
"Van?"
Tenggorokan gue tercekat dan segera bangkit dari tidur gue setelah menyadari suara siapa itu. "Iya, Ma. Halo?" kata gue serak.
"Kamu sakit?" tanya Mama cemas dan aku mengelap keringat yang mendadak keluar dari pori-pori kening gue.
"Eh, Evan..."
Sret. iPhone gue kini beralih ke tangan cewek itu.
"Halo, Tante? Iya ini saya Tyas, temannya Kevan. Kevan nggak apa-apa. Tadi dia masih sibuk. Nanti bisa telpon lagi ya, Tante. Makasih," Tyas mematikan sambungan telpon dan menatapku sebal. Lalu dia melempar iPhone di pangkuan gue.
"Elo tuh ya..." Tyas memukul lengan gue berkali-kali.
"Aduh, Yas. Stop. Gue lagi sakit nih," kata gue memelas.
"Sakit gundulmu itu. Elo hangover gitu. Itu lo berusaha menyakiti diri sendiri kali!" geram Tyas sambil terus memukul gue.
"Ya udah dong, Yas. Stop it. Kepala gue masih pusing nih," kata gue sambil bergaya memijit pelipis gue. Tyas berhenti memukul gue dan memberikan segelas teh hangat yang ia pegang.
"Nih minum. Gue dapet dari kantin," kata Tyas menyodorkan segelas teh ke gue.
Gue menyeruput teh itu pelan-pelan lalu meletakkan cangkirnya di meja setelah selesai meminumnya.
"Lo ngapain duduk?" kata gue menatap Tyas yang duduk di kursi sebelah gue.
"Pertama, gue nggak lagi giliran jaga, kedua, Zafran ngijinin gue nemenin elo, dan ketiga, lo lagi sakit. Any question?" gue menahan senyum pas Tyas ngomong gitu, meski gue agak jijik dia nemenin gue di sini, secara gue meminjam istri orang buat nemenin gue.
"Lo kenapa senyum-senyum?" tanya Tyas dan gue hanya menggeleng. Tyas hanya menggeleng kecil dan mengeluarkan iPhone-nya dari saku snelli-nya.
"Makasih ya, Yas."
Alis Tyas kemudian terangkat. "Elah elo, pake drama banget bilang gitu. Lo tidur gih," kata Tyas sambil menahan senyumnya.
***
Rasya
"Neng, gimana? Jadi ikut proyek Villa-nya Farish?"
Aku setengah membanting iPhone-ku di meja. Meski tidak terlalu keras, suasana kantor yang sepi ini membuat kepala dari ruangan kaca sebelah menatapku dengan heran. Aku menghela napas kasar sambil bersandar pada kursi putarku. Ya Tuhan, benar kata Kevan, meski alkohol itu membuatku lega, tapi, masalah ini tetap saja bercokol di kepalaku seperti parasit. Apa aku pulang cepat saja? Mengambil alkohol—pemberian Vivi—yang ku sembuyikan dengan tertata di kabinet, lalu meneguknya sekaligus, berharap semua tentang proyek itu lenyap dari kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
About (More Than) Friends
ChickLitRasya "Kayaknya gue suka sama lo" Kevan, calon dokter yang sudah jadi sahabatku dari jaman kuliah, pecinta bioskop tengah malam, si juara goyang kayang kalau lagi mabok. Dan aku suka sama dia. Sayang, harusnya aku nggak bilang begitu, kalau saja dia...