IV

114 4 0
                                    


Rasya

Apa sih tujuan hidupku? Aku nggak tahu. Yang jelas aku menjalani apa yang sudah menjadi kesukaanku sejak kecil. Menggambar. Ah sampai orang itu datang, mengacak-acak segala hatiku, kepalaku, dan hampir saja merenggut masa depanku. Eh nggak salah ya, Cha? Bukannya kamu sendiri yang menginginkan semua itu terjadi?

"Bagus gambarnya," katamu sambil mencium leherku. Aku sedikit geli dibuatnya.

"Nggak. Ini biasa aja."

"Ntar, kalau kamu masuk arsitek. Mungkin aku akan punya arsitek pribadi. Kita bisa bikin rumah kita sendiri di puncak. Terus lihat kamu tiap hari, tiap jam, dan tiap menit di dapur. It's perfect plan, right?" ucapmu sambil tertawa.

Argh, kamu tahu selama aku mengingat itu, aku benar-benar benci menggambar. Benci sebencinya. Ketika aku mengingat lagi kata-katamu, seperti menerjunkan mimpiku di jurang. Aku selalu bertanya-tanya kenapa aku di sini dan untuk apa. Ini benar-benar nggak ada artinya kalau mimpi kita nggak bakal terbukti. Ya kan? Dan sekarang kamu datang lagi, mencoba membangun lagi apa yang kita impikan dulu. Membuatkanmu desain Villa konyol itu.

"Bagus lagi gambarannya, kok lo buang?" tanya Kevan heran sambil memunguti gumpalan kertas yang sudah aku robek dari sketch book-ku.

Ya begini ini, efeknya kalau aku mengingat kata-katamu itu. Ini menghambat inspirasiku dan seakan gambarku sangatlah jelek.

"Jelek, Van. Jelek. Udah jangan dipungut," kata setengah berteriak lalu mengambil halaman lagi dan mulai menggambar.

Aku menggambar suasana di Alun-alun pagi itu dan aku sudah menggambarnya ratusan kali, tapi, entah kenapa hari ini, terasa buruk di mataku. Aku mulai dengan garis, orang-orang yang duduk santai di atas rumput, plang bertuliskan Alun-alun Bandung, dan Kevan. Kevan. Dia tampak bagus dari sudut ini. Meski gambar orang-orang itu menurutku jelek sekali, tapi, dia berbeda. Aku merasa semangat menggambarnya. Aku mendongak dari sketch book-ku, menatap Kevan yang sedang menatap langit. Matanya sedikit menyipit menahan silau matahari.

"Lo ganteng juga, kalau kayak gitu," kataku spontan.

Dia sedikit menahan senyum. "Ah masa? Gue kayak gini lagi deh." Kevan dengan gayanya yang dikeren-kerenin seolah lagi pemotretan majalah. Aku yang tak tahan tertawa, menutup mulutku dengan sketch book dan tertawa puas.

"Loh? Digambar dong guenya. Jarang-jarang kan gue lagi ganteng gini. Biasanya elo gambar, pas gue kelihatan kayak zombie."

Aku mulai menggambar wajah Kevan, dan di belakangnya suasana orang-orang, anak-anak yang sedang bermain, mengejar balon, segalanya begitu detail. Sampai aku menggambar senyum Kevan yang tidak natural itu.

"Udah belom? Pegel gue lihat atas gini," kata Kevan sambil memincingkan matanya.

Aku menatapnya intens. Hingga entah bagaimana aku ingin bersandar di bahunya itu.

"Makasih, Van."

***

Kevan

Shit! Shit! Bikin gue menghilang dari sini, karena ketika dia melakukan gerakan mellow dan romantis ini bikin gue mual seketika. Gerakan spontanya Acha bikin gue kayak patung. Dan tiba-tiba dia bilang makasih?

"Buat?" kata gue sambil melihatnya.

"Makasih aja," kata Acha misterius.

Gue cuma diam dan membasahi tenggorokan gue yang tiba-tiba kering ini. Apa gue juga harus membelai rambutnya? Dan memegang pundaknya itu biar makin erat sandarannya di bahu gue? Somebody help me. Gue harus gimana? Gue putuskan untuk membelai rambutnya. Belum juga tangan gue setengah jalan di rambutnya, dia duduk seperti semula dan gue pura-pura menggaruk rambut gue. Awkward banget. Dia lihat gue dan gue cuma ketawa garing. Dia ngerti nggak ya, gue bakal menyetuh kepalanya itu kayak di film-film?

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang