VI

100 3 0
                                    

Kevan

Gue kayaknya kesambet deh merasa memperlakukan Acha kayak gitu. Apa gara-gara badan gue yang nggak beres ini, mempengaruhi kadar mellow gue ke dia? Gue harus tidur, biar nggak keinget-inget bagaimana cara Acha menggosokkan rambut gue yang basah tadi dengan handuk kecilnya. iPhone gue bergetar. Acha.

"Lo udah nyampe apartemen?"

Gue mengetik dengan cepat. Belum juga gue selesai mengetik, pesan Acha muncul di ruang percakapan.

Jangan lupa mandi air hangat dan cepet tidur. Gue nggak sengaja deket-deket lo tadi, dan badan lo sedikit anget. Kalo besok belum mendingan, call me. Kalau nggak, lo gue cincang!

Ps: jangan dibales!!!!

Gue tersenyum kecil. Apaan nih? Bukan Acha banget yang selalu merhatiin gue dengan berlebihan. Dan bukan gue banget yang boom-boom-bang feeling membaca pesan Acha yang kayak gitu. Iya, gue bahkan nggak senyum-senyum nggak jelas macam gini, pas sama Frada dulu atau dapet pesan dari nyokap. Gue juga nggak pernah seseneng ini dapet perhatian dari Acha. Atau mungkin dia memang begini sejak dulu dan gue yang nggak menyadari itu? Yeah, si Kevan Drajad, yang begitu lemot urusan hati dan maha bego ini akhirnya sadar juga.

***

Sial! Udah pagi dan badan gue nggak bisa gue toleransi. Gue mimpi di taman bunga bak film india sama Acha aja, saking kagetnya nggak kuat bangun ketika gue sadar kepala gue pening nan berat. Apa ini gara-gara gue sok-sokan ujan-ujanan gak jelas nganter dia ke Apartemen ya? Gue bahkan sekarang seolah lihat Acha di kamar gue sambil senyum. Lalu berubah jadi lihat gue dan Acha di Bar berpelukan, terus lihat Acha menggambar sketch-nya sambil matanya berkilat bersemangat, senyum ke gue lagi, dan yang terakhir gue sama Acha cium...

Gue sontak kaget dan membuka mata lalu reflek berusaha bangun ketika akhirnya kepala gue sakit banget. Shit! Gue mimpi apaan sih, kena jebakan mulu. Kenapa gue nggak diijinkan mimpi kayak gitu pas gue lagi sehat aja, seenggaknya ketika gue kaget terus bangun, gue nggak bakal mengalami kepala gue berat pas bangun.

Ini udah mimpi kedua, kalau gue nggak bangun, gue bakal kena jebakan lagi. Dan seharusnya gue juga minum obat, karena gue merasa badan gue lebih menggigil daripada kemarin. Tapi, gue nggak sanggup bangun, gue udah nggak bisa membedakan ilusi apa kenyataan gara-gara pandangan gue kabur.

Telinga gue mendengar pintu apartemen terbuka dengan kasar. Kalaupun itu pencuri gue nggak peduli, karena apartemen gue nggak ada barang berharga juga. Tapi, kalau itu beneran bukan pencuri yang masuk, hanya satu kemungkinan, dia punya kunci cadangan gue, dan yang punya kuncinya kan A... Oh My God. Mata gue terbuka seketika. Entah dari mana kekuatan gue datang, gue langsung beringsut bangun. Udah nggak gue pikirin badan lemes dan sakit, sekarang gue panik. Seolah di Apartemen gue bakal kena sekawanan binatang buas dari kebun binatang.

Pintu kamar gue terbuka. Mulut gue terbuka. Acha di situ.

"Cha, gue nggak sakit. Lo nggak perlu..."

"Van, lo bener-bener ya..."

"Eh itu apa?" tanya gue menatap totebag yang dibawa Acha.

"Pisau yang paling tajam di Apartemen gue buat nyincang elo!!!"

***

Rasya

Benar juga feeling-ku. Dia nggak ngabarin, bahkan bales chatku yang kemarin aja nggak! Aku sudah mulai curiga ketika mobil Kevan tidak terparkir di basement rumah sakit. Bodohnya aku tetap positive thinking, menganggap dia libur atau dia tidak sedang jaga pagi. Sampai perasaan positifku lenyap saat Argo menghampiriku.

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang