XII

107 4 0
                                    


Rasya

"Sebentar aja ya, and I have to go."

"Well..." Farish mencodongkan tubuhnya, jarinya bertautan di meja dan mata itu... mata itu masih tajam—seperti yang ku ingat, aku menyukai matanya yang tegas. "I'm sorry for the last night."

Aku hanya mengangguk. Enggan lebih tepatnya. Meneguk air putih, mengusir kecanggungan yang ku ciptakan sendiri. "It's okay. Saya juga emosi kemarin," kataku sambil mengusap pelipisku.

Tapi, tentu saja aku melakukan ini hanya untuk Kevan. Bagaimana aku berjanji untuk berdamai dengan masa lalu dan dia membiarkan itu. Hanya saja, ketika aku sudah mulai berdamai dengan masa lalu, Kevan nggak bakal kembali. Kita nggak bakal kembali seperti semula. Hubungan yang rumit tentu tidak bisa diperbaiki dengan mudah, seperti memperbaiki bangunan yang rusak. Tentu saja lebih mudah memperbaiki bangunan yang rusak dengan semen terbaik, batako terbaik, atau mungkin arsitek yang lebih handal. Tapi, tidak dengan kami.

Dan yang lebih buruk, aku tidak tahu berapa lama waktu yang tepat akan datang kepada kami saat semuanya sudah baik-baik saja.

"Sebetulnya..." Farish menaikkan sudut bibirnya. "Saya harus bilang ini sama kamu, sebelum saya menikah. Tapi, you know, kamu nggak mau bertemu dengan saya sejengkal waktu yang kamu punya."

Aku hanya tersenyum tipis. Berpikir apakah ketika aku memutuskan bertemu Farish sebelum ini terjadi, akan mengubah sedikit saja keadaan?

"Well congrats for your marriage."

Well, Seperti yang ku ingat, dia hanya tersenyum selebar itu setelah aku memberikan ciuman pagi hari favoritnya, sama halnya sarapan bubur ayam favoritnya di kantin sekolah dulu. Namun, dia tersenyum lebar di depanku sekarang, senyumnya yang paling favorit bagiku.

"You know, Ra. Saya sadar ketika saya menikahi seorang wanita yang benar-benar saya cintai, saya melihat itu di diri kamu. Bahwa memang seharusnya saya mencintai lebih wanita itu seperti saya mencintai kamu. Kamu itu mengajarkan saya untuk berusaha memperbaiki diri, bagaimana saya harus mencintai seseorang yang bukan kamu dengan pantas dan tidak lagi melihat ke kamu lagi," kata Farish panjang lebar dan lagi-lagi dengan senyumnya itu.

"Apa itu tips untuk saya?" kataku berusaha melucu dan dia tergelak.

Farish memegang tanganku yang bebas di meja. "You must try. Mungkin... dengan pria yang datang ke nikahan saya kemarin?" goda Farish dan aku berusaha tersenyum. tidak menjawab lebih panjang lagi. Kalau saja mau, aku mungkin sudah mencobanya sejak dulu.

"Mau jalan sekarang?" tanyanya dan berdiri.

Dahiku mengernyit. "Kemana?"

"Build our delay dreams. Maybe. Kalau kamu mau?"

Aku menggeleng. "I have to go, Rish. Kan saya sudah bilang."

Farish berdecak gemas. "Ini bukan sekedar proyek mimpi kita, Ra. Tapi, mungkin kamu butuh penjelasan kenapa saya pergi. Ya kan?"

***

Kevan

"Itu yang ku sukai dari musik. Semua basa-basi ini terasa indah, bergejolak."

Line dalam Begin Again yang selalu gue ingat ketika gue merasa ya... sendiri dalam keramaian. Sekarang gue tahu apa maksud dari line itu. Mungkin gue memang nggak takut lagi dengan keramaian, namun, dengan musik gue merasa nggak pernah asing dengan segala hiruk pikuk ini. Tapi, sekarang gue takut dengan keramaian yang membelenggu di jantung airport pagi ini. Gue merasa melihat lo, Cha. Gue merasa mengingat segala line yang gue bilang ke lo tentang keramaian yang gue takutin itu. Di bioskop malam itu saat gue membawa lo pergi dari cowok brengsekmu.

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang