Rasya
Sialan, dia datang ke kantorku! Mungkin whatsapp Mas Yunus yang tak ku balas membuat dia berinisiatif datang ke kantor. Kan sudah ku bilang aku tak akan menemui dia? Kenapa dia keras kepala banget sih mau ketemu? Aku hampir saja mengajukan cuti ke Mas Bowo agar aku bisa jauh-jauh dari Jakarta, jika aku nggak diajak kabur sama Kevan.
"Ada yang nyariin elo tuh," Mas Bowo menghampiriku saat sarapan. Ini kan masih jam 9?
"Siapa, Mas?" tanyaku dengan makanan yang masih penuh di mulut.
"Nggak tahu," jawab Mas Bowo singkat dan pergi begitu saja.
Kantorku punya dua lantai, lantai satu untuk kantor, dan lantai dua untuk meeting dan perpustakaan kecil. Biasanya aku makan di sofa dekat kaca pembatas lantai satu dan dua. Jadi, aku bisa leluasa menatap kesibukan kantor dari atas maupun melihat klien yang duduk-duduk santai menunggu di lobi sambil baca buku. Aku yang saat itu melongok dari balkon, menatap sosok yang nggak asing. Mataku membelalak dan hampir saja makananku keluar dari mulutku. Ya ampun kenapa dia harus datang sepagi ini dengan kondisiku yang tidak siap bertemu dengannya?
"Dih, lo jorok banget sih, Sya," omel Vivi ketika melihatku hampir mengeluarkan makananku. "Lo lihat apaan sih? Kaget banget kayaknya." Aku hanya menggeleng dan masih menatap sosok itu dari atas. Dia sama sekali nggak berubah, dia selalu memakai pakaian berwarna hitam, dan sekarang bedanya dia sudah punya guratan kasar di wajah menandakan bertambahnya umur.
Tapi, aku tak ingin menemuinya. Seberapapun dia mau menjelaskan padaku, aku takkan mau bertemu dengannya.
"Lo tahu promo tiket ke Langkawi nggak?" celetukku kepada Vivi.
Vivi mengangkat kepalanya dari sendoknya. "Hah? Emang lo mau cuti? Kapan?"
"Sekarang," kataku dengan nada putus asa dan masih menatapnya dari atas.
Saat aku ngomong begitu ke Vivi, aku malah dikatain gila. Aku nggak peduli betapa gilanya aku, menghindari pertemuanku dengannya. Aku lebih baik gila jika aku menatap mukanya lagi.
"Lo kok keluar dari pintu samping?" tanya Kevan saat aku masuk ke dalam mobil.
Aku memasang seatbelt. "Emang gue bercanda soal gue dikejar rentenir?" tanyaku datar.
"Emang gue percaya lo dikejar rentenir?" timpal Kevan tak kalah datar. Aku hanya manyun.
"Kita mau ke mana?" tanyaku ketika mobil mulai berjalan.
"Lo ada butik buat fitting jas gitu nggak?"
Aku mengerutkan dahi. "Lo mau tunangan? Sama cinta pertama lo yang ketemu waktu TK itu?" tanyaku sambil tergelak.
"Diem deh lo," dengus Kevan kesal. "Ada nggak?"
"Emang buat apaan lo fitting jas segala?" tanyaku penasaran.
"Mau kondangan," jawab Kevan singkat dan aku menahan senyum.
"Mau kondangan aja pake fitting jas segala."
"Masalahnya, katanya temen gue, kondangannya di Bidakara," ucap Kevan enteng dan mataku membelalak.
"Hah? Yang bener? Sekaya apa tuh cowoknya bisa nggelar acara di Bidakara?" tanyaku heran. Kalau aku punya opsi menikah di mana, aku akan menjawab menikah di tempat outdoor dengan konsep private weeding, meski sekaya apapun calon suamiku. Yang penting murah dan tidak repot saja.
"Katanya sih eksmud gitu," jawab Kevan dan aku mengangguk paham. Pantas sih bisa menggelar acara megah begitu. "Terus gue harus ke mana nih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
About (More Than) Friends
ChickLitRasya "Kayaknya gue suka sama lo" Kevan, calon dokter yang sudah jadi sahabatku dari jaman kuliah, pecinta bioskop tengah malam, si juara goyang kayang kalau lagi mabok. Dan aku suka sama dia. Sayang, harusnya aku nggak bilang begitu, kalau saja dia...