VII

95 4 0
                                    

Kevan

Gue terbangun ketika mendengar iPhone gue bergetar. Kepala gue sudah nggak sakit apalagi berat. Gue menatap jendela apartemen gue, udah malam. Lalu beralih menatap jam di meja samping ranjang gue. Jam 9. Itu berarti gue tidur cukup lama dan gue nggak inget-inget apa. Acha pasti udah pulang. Gue duduk sebentar, sebelum gue menyadari di meja samping jam gue terdapat banyak obat. Itu bukannya obat gue? Gue menatap lekat-lekat obat-obatan itu dan mengambil satu-satu. Obat maag, obat alergi, bahkan vitamin dengan berbagai merek. Mata gue tertangkap pada post it yang ditempel di salah satu kaplet obat maag tersebut.

Gue bukan dokter dan obat lo banyak banget!! Jadi, cuma ini yang bisa gue ambil. Kalau nggak cocok, jangan ngetawain gue

Ps: gue cuma tahu obat maag doang

Gue tersenyum tertahan, memandang semua jenis obat di meja. Gue memang punya banyak obat, sekedar jaga-jaga kalau gue sakit atau apa. Sedangkan gue memang mengkoleksi obat, sekalian untuk belajar juga. Sebagian besar obat di laci gue rata-rata emang sama indikasinya, cuma beda merek. Tapi, maaf, Cha gue nggak lagi alergi apalagi cacingan, kata gue dalam hati ketika menatap satu-satu obat yang sama sekali nggak cocok buat gue itu.

Gue beranjak dari tempat tidur. Keluar dari kamar, mengambil gelas untuk minum lalu memencet tombol pada dispenser.

"Lo udah bangun?"

Uhuk!

Gue hampir aja tersedak ketika gue menyadari suara itu. Gue berbalik. Acha masih di sini, dengan wajah yang capek dan dia sedikit menguap. Dia dengan cueknya melewati gue, mengambil gelas gue yang masih setengah bagian, lalu mengisinya dengan air segelas penuh.

"Lo kenapa lihat gue kayak gitu?" kata Acha setelah minumannya tandas.

Fakta yang bikin gue syok selama sahabatan sama dia adalah, satu, dia cueknya minta ampun. Kedua, dia kayak nggak peduli dengan apa yang dia lakukan sekalipun itu janggal di mata orang yang melihatnya. Ketiga, gue sering mendapatkan surprise—lebih tepatnya surprise nggak menyenangkan—nggak terduga kalau sama dia. Dan keempat, kayaknya orang dengan flat tingkat tinggi nggak begini amat-amat!

"Lo ngapain di sini? Lo nggak kerja?"

"Kerja kok," jawab Acha datar sambil meletakkan gelasnya di meja makan.

"Masa?"

"Lo-nya aja tidur kelamaan. Gue tadi balik ke kantor kok, terus pulang awal. Eh taunya lo masih tidur," kata Acha lalu menyuci tangannya di wastafel.

"Terus ngapain lo ke sini? Kenapa nggak pulang?"

Acha menatap gue dengan ekspresi malasnya. "Lo inget nggak kejadian tadi pagi? Whatsapp gue aja nggak, apalagi kalau gue beneran nggak dateng." Acha melipat lengannya di dada. "Lagian apa jadinya lo kalau nggak ada gue."

Gue membuang muka. Merasa pipi gue memerah saat Acha bilang gitu. "Gue kan nggak kenapa-kenapa..."

"Nggak kenapa-kenapa, tapi lo ngigaunya sampe nyeritain cinta pertama lo yang nggak jelas itu," sindir Acha sambil berlalu ke ruang tamu.

Gue syok. Gue cerita apaan ke dia? Gue merasa nggak inget pernah cerita gitu waktu gue sakit. Yang gue ingat adalah setelah gue makan, gue tertidur. That's it. Aku mengikuti Acha sampai ruang tamu dan duduk di sampingnya.

"Lo bilang apa barusan?" cecar gue panik. Duh, kenapa mulut gue ember banget sih!

"Cinta pertama or whatever. Gue baru tahu bahasa elo seindia itu kalau sakit," ucap Acha dengan ekspresi mengejek.

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang