XIII

184 5 0
                                    


Kevan

Selalu ada yang gue suka dari catur, bidak-bidaknya, dan papan hitam-putihnya itu. Kadang di baliknya selalu menyimpan misteri yang gue nggak tahu, apa gue bakal menang? Jenis bidak apa yang bakal membuat musuh gue takluk? Dan macam pertanyaan itu yang selalu membuat gue menyukai catur. Gue udah lama nggak main catur, bahkan dengan Bapak. Acha? Dia nggak bisa main catur, jadi, gue jarang main catur lagi. Hanya dengan Bapak gue bisa main catur bareng. Kebiasaan ini kayaknya mulai hilang ketika Bapak dan Mama cerai, kecuali saat-saat di mana Bapak pulang ke Indonesia atau gue yang ke New Zealand. Nggak seperti dulu, di mana setiap gue pulang sekolah gue bisa dengan gampangnya mengacungkan papan catur pada Bapak dan kami tertawa sepanjang sore bermain catur tak kenal waktu. Kalau ada yang gue rindukan dari keluarga normal seperti umumnya, gue rindu main catur dengan Bapak dan itu nggak perlu ada alasan.

"Maju dulu, Le," kata Bapak menyilakan gue main dulu.

Gue mengusap dagu dan memajukan bidak-bidak gue.

"Kemarin sebelum Bapak memutuskan pulang, Bapak mimpi dapat pasien kecelakaan, Le."

Mitos yang selalu Bapak pegang adalah jika Bapak mimpi dapat pasien kecelakaan maka beliau tahu gue adalah masalah. Dan Bapak tahu kalau gue bakal pulang ke Padang. Gue bahkan nggak terlalu percaya dengan klenik-klenik macam itu, karena gue besar di luar negeri dan kemungkinan terkecil gue nggak percaya macam begituan. Tapi, Bapak percaya itu.

"Gara-gara itu Bapak pulang ke Indonesia?"

Bapak tertawa renyah sambil menatap bidak-bidak caturnya. "Mama kamu kangen sama Bapak. Jangan ke-GR-an kamu," kata Bapak dengan nada canda.

Gue merengut dan kembali menatap bidak catur gue. Sial! Menteri gue dalam keadaan bahaya.

"Jadi, ada apa, Le?" tanya Bapak penasaran dan gue termangu setelah menjalankan bidak gue dalam misi menyelamatkan menteri gue yang dalam bahaya itu.

"Kayaknya Kevan nggak pernah tanya soal ini ke Bapak atau Mama," gue menghela napas dan Bapak memperhatikan gue takzim. "Tapi, Bapak mungkin udah ahli soal ini. Kenapa Bapak pisah sama Mama?" tanya gue hati-hati.

Ada raut terkejut dari wajah tua Bapak, namun, gue tahu Bapak berusaha menyembunyikannya setengah mati.

"Tapi, nyatanya Bapak nggak meninggalkan kalian berdua kan?" elak Bapak dan gue masih menatap mata Bapak itu.

"Bapak sama Mama saling sayang. Itu yang Kevan tahu. Tapi, kenapa waktu itu Bapak dan Mama cerai? Bertahun-tahun Kevan berusaha diam, tapi, Kevan tahu sekarang Kevan butuh itu."

Bapak menghela napasnya dan menatap gue seperti 10 tahun lalu. Berusaha memberi gue pengertian.

"Le, masalah Bapak sama Mama itu complicated sekali. Dan satu-satunya cara adalah Bapak dan Mama berpisah. Tapi, tentu saja Bapak nggak akan meninggalkan keluarga Bapak."

"Jadi, kenapa Bapak sama Mama cerai?"

"Kesepian."

Kening gue berkerut dengan jawaban Bapak yang singkat itu. Bapak yang melihat ekspresi gue yang kebingungan ini, tersenyum simpul.

"Bingung?" gue mengangguk. "Bertahun-tahun sejak pernikahan kami, kayaknya semuanya nggak berubah. Terasa datar. Bapak yang tiap hari harus ke college, ke rumah sakit untuk bekerja, dan ketika Bapak menatap rumah kita itu, udah nggak sama kayak dulu. Mamamu yang kayaknya lebih kesepian dari wanita janda dan keluarga kita yang nggak pernah berubah. Stuck. Bapak dan Mama mulai bosan dengan zona nyaman, akhirnya memutuskan untuk berpisah baik-baik. Nggak perlu ada pertengkaran karena kita saling menyadari bahwa zona nyaman kita terasa membosankan. Jadi, satu-satunya cara ya cerai, berusaha cari tempat yang lebih nyaman, nggak ada ikatan lagi, tapi, kita juga berjanji untuk tetap jadi orang tua terbaik buat kamu, Le."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang