IX

102 4 0
                                    


Rasya

"Apa yang kamu suka dari bumi?"

Gardner dalam The Space Between Us ngomong begitu ke semua orang setelah akhirnya sampai ke bumi. Planetnya yang asing. Oh dan pertanyaan untukku, 'apa yang kamu suka dari Kevan?'. Sangat banyak yang ku sukai darinya, sampai aku saja malas menghitung dari ujung sana sampai ujung sini. Aku suka ketika dia mulai bercerita dengan logat kedaerahannya, bagaimana dia hidup di kampung, bagaimana dia memulai hidupnya yang sederhana itu, dan banyak sekali cerita-ceritanya yang bahkan bagi aku itu aneh sekali.

Dan lagi-lagi malam ini, ketika aku mengingat sosok pria yang seharusnya tak ku pikirkan jika di samping Kevan, dia mulai bercerita. Bercerita tentang dirinya yang sederhana dan kedaerah-daerahan itu. Dia selalu menghiburku dengan cara yang berbeda, menceritakan segala ketakutan dan masa kecilnya itu.

"Lo harus berani buat nggak patah hati lagi."

Aku merenung. Aku sudah berusaha melupakan segala kebajingan setiap lelaki yang mendekatiku. Tapi, nggak ada satupun yang seperti Kevan. He is the best. Aku merasa ketika aku di sampingnya, betapa kesederhanaannya itu menarikku.

Aku tahu ketika dia menatapku lekat-lekat seperti itu, dia akan mengatakan hal yang nggak baik buat kami. Balasan perkataanku tentang 'kayaknya gue suka lo' itu. Aku menatapnya sejak lampu bioskop dimatikan. Benar kata Kevan, bahkan ketika bioskop sesepi ini, sekarang rasanya hatiku terasa ramai. Ramai akan ketakutan, bahwa ketika kami saling suka, dia tak akan menerima kondisiku yang kurang ini. Aku takut.

"Cha?"

"Ya?"

"Lo ngantuk?"

Aku merengkuh lengannya dan bersandar di pundaknya. Aku menggeleng lemah.

"Van, makasih ya yang tadi," kataku lembut dan dia hanya berdehem.

"Buat?"

Aku memilih tak menjawabnya dan mengeratkan peganganku pada lengannya. Dan Kevan yang tak pernah melakukan ini sebelumnya, membalasku dengan memegang tanganku yang menyentuh lengannya.

"Cha, gue cinta sama lo."

Aku memejamkan mata. Menolak dengan paksa rasa yang memuncak keluar. Aku menghirup udara yang mulai sesak di sekitarku lalu melepaskan tangannya itu, berusaha tidak menangis walaupun film yang kami tonton malam ini tidak lah sedih. Andaikan ketika aku menyukainya di waktu yang tepat, andaikan dengan mudahnya aku membalasnya bahwa aku benar-benar mencintainya, dan andaikan Kevan yang menyukaiku bukan cowok yang terlampau baik, aku akan sangat menyukainya. Sangat.

***

Kevan

"Udah sampe," kata gue dan Acha menatap gedung apartemen lewat kaca mobil. Dia hanya mengangguk lalu melepaskan seatbelt-nya.

Sejak gue bilang gue cinta dia, Acha hanya diam sepanjang perjalanan maupun sepanjang kami menonton film di bioskop. Gue yang juga mendengar sesenggukan yang ia sembunyikan setengah mati agar gue nggak dengar. Gue dengar itu, Cha. Apa gue menyatakan yang gue rasa ini nggak tepat sesuai proporsinya? Apa lo masih memikirkan cowok brengsek yang datang ke kantor lo tadi? Apa lo merasa nggak inget, bahwa gue yang membuat lo lari sementara dari pria itu?

Setelah Acha melepas seatbelt-nya kami diam canggung.

"Gue anter sampe apartemen ya?" tawar gue dan Acha mengangguk setuju.

Ini bukan kita yang selalu canggung selama kita sahabatan, Cha. Lo inget itu kan? Bahkan dentingan lift yang menandakan kami sampai di lantai apartemennya Acha aja, terasa berbunyi nyaring. Biasanya kita main rapid question, dan lo seperti biasa kalah dari gue. Ini terlalu hening buat kita dan buat gue. Gue nggak pernah gini sebelumnya berada di dekat Acha dan nggak pernah seasing ini.

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang