X

100 4 0
                                    

Rasya

Seharian di kantor, dan seharian juga pikiranku kemana-mana. Pikiranku yang runyam melayang ke apartemen Kevan, menemuinya dengan cewek lain sedang memeluknya. Aku mundur beberapa langkah saat itu juga, lalu lari dari sana. Menangis sejadi-jadinya di taksi. Padahal aku hanya ingin minta maaf, padahal aku hanya ingin meluruskan segalanya dan aku masih ingin berteman denganmu, Van. Oh oke ralat... lebih tepatnya ingin terus di sampingmu, Van. Aku nggak ingin merusak apa yang telah kita bangun, sama halnya ketika aku dengan Farish. Hanya itu. Tapi, kenapa kamu mengartikan itu semaumu, Van?

Yeah, aku pikir ini akhirnya. This friendship is fucking done. Dan aku nggak bisa apa-apa lagi, ketika kamu sudah sama dia, Van. Aku merasa sudah menjadi teman yang gagal, ketika aku mulai mengatakan hal konyol itu. Aku nggak tahu betapa kamu berharap terlalu banyak padaku sejak itu dan menjadi bom waktu buat kita, Van. I do not think up there.

"Lo nggak ada kerjaan kan?" Vivi menghampiriku dan menyerahkan seberkas map. "Klien baru."

Aku menerimanya. "Tapi gue masih banyak klien. Kok gue?" tanyaku heran.

"Orangnya maunya elo. Dan ngajak ketemuan hari ini," kata Vivi lalu menyerahkan sebuah post it berisi alamat tempat aku dan klien itu bertemu.

"Tapi, ini udah malem banget. Lo yakin dia mau ketemu gue? Nggak bisa besok pagi?" tanyaku sambil menatap jendela kantor.

"Dia maunya sekarang tuh."

Aku menatap post it itu. Beringsut pergi, membawa tasku, dan memesan taksi online. Klien ini aneh banget deh, ngajak meeting malam-malam begini. Tapi, aku positive thinking bahwa si klien kayaknya lagi sibuk dan baru bisa bertemu pada malam hari. Ketika sampai di tempat bertemu, aku menatap kafe yang sepertinya masih baru di kawasan ini. Aku membuka pintu kafe, menatap punggung pria berjas hitam membelakangiku. Kayaknya itu deh.

"Selamat malam, Bapak. Saya Rasya..."

Pria itu berbalik dan menatapku. Oh God. Aku menatap semburat wajah kasar itu, matanya yang bertengger kacamata frame bulat, dan bibirnya dulu yang pernah aku cium... fuck! Aku harus lari! Aku langsung lari tunggang langgang keluar dari kafe, ketika tanganku terasa ditarik. Ini benar-benar hari yang buruk. Aku berantem dengan Kevan dan sekarang aku bertemu dengan Farish. What?

"Please, saya ingin bicara dengan kamu, Ra," katanya dan aku sudah meronta-ronta melepas pegangannya yang terasa menjijikkan itu.

"Nggak ada yang perlu dijelasin, Rish. Saya harus pergi," kataku dengan nada meninggi.

Pergelangan tanganku terlepas darinya dan aku berlari begitu saja tanpa arah. Napasku terasa sesak, aku berhenti dan bertumpu pada lampu jalanan, bahkan aku tadi melepas sepatuku saja aku tak sadar. Kenapa kamu harus datang di saat seperti ini, Rish? Di saat ini adalah hari-hari yang terburuk yang pernah ku lewati. Aku kehilangan sahabatku dan aku bertemu dengan masa laluku.

"Ra, sepatumu..."

Aku menoleh dan rasanya tubuhku ambruk.

***

Kevan

Gue memang hancur hari ini, gue bahkan diajak jalan nggak jelas sama Tyas dan gue hanya diam seharian ini. Gue membuka kaca mobil dan sedang perjalanan ke rumah sakit. Tyas narik-narik gue ke rumah sakit, padahal gue sama sekali nggak minat ketemu orang, gue pengen sendirian di apartemen, tapi, itu juga lebih menyakitkan karena bayangan Acha ada dimana-mana. Dia sukses meninggalkan jejak, seolah ketika gue lagi patah hati dengannya, gue akan sesakit ini. Yeah, you're right, Cha. Ternyata sesakit ini. Tyas kali ini yang menyetir, takut kalau gue nabrak orang atau menghentikan mobil gue di Bar. Padahal gue cuma butuh itu. Yang kemarin ternyata nggak cukup membuat gue teler sampai gue lupa sama Acha.

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang