III

131 6 0
                                    


Gue datang ke apartemen Acha sekitar pukul 9 pagi. Dan lo tahu nggak ketika gue sudah sampai di apartemennya dia? Dia baru mau mandi.

"Gue baru bisa tidur jam 3 pagi, Van. Gue harus nyelesain desainnya sebelum Senin depan."

Gue hanya mengangguk maklum. Gue tahu kerja nggak mudah, jadi, gue bakal maafin Acha. Acha lalu masuk ke kamarnya dan gue mencari minuman di kulkasnya. Kalau lo lihat kulkas para cewek-cewek karier yang biasanya kosong melompong karena nggak pernah masak, tapi, Acha nggak gitu. Isi kulkasnya lengkap banget. Bahkan nggak ada bayam atau keju hidup di situ karena kelamaan nggak dipake. Kadang gue berpikir, hidup sama Acha lumayan juga, gizi gue bakal terpenuhi. What? Hidup sama dia?

Gue menggelengkan kepala seketika membayangkan skenario hidup macam itu. Gue mengambil dengan random minuman di rak pintu kulkas. Menatap sekeliling dapur Acha yang kebanyakan set dapurnya dengan merek terkenal seperti Modenna, Oxone, dan semacamnya. Alat masaknya aja lengkap banget. Gue membuka kabinet berniat mencari gelas sampai mata gue menangkap sesuatu yang janggal, yang lebih tepatnya gue nggak percaya Acha menyimpan barang begitu. Vodka yang tinggal separuh. Vodka itu disembunyikan di belakang gelas berbagai ukuran, tapi, tetap saja gue mengenalinya dengan sekali lihat. Bukan, gue bukan ahli minum-minum gitu. Dulu sih pernah clubbing sekali dua kali, sampai gue sadar sejak masuk kedokteran. Gue tahu persis itu botol vodka. Pertanyaannya, sejak kapan Acha minum ginian?

"Van, lo kalo mau makan gue udah masak spaghetti carbonara kesukaan lo," ucap Acha membuat gue reflek menutup pintu kabinet. Gue menoleh ke kamarnya. Gue hampir deg-degan, ketika akhirnya gue tahu Acha masih di dalam kamarnya. Gue hanya menjawab singkat dan berlalu menuangkan es jeruk.

Pikiran gue masih belum meninggalkan kabinet berisi vodka itu. Gue masih berandai-andai dalam hati, kalau vodka itu bukan milik Acha. Acha nggak pernah minum gituan, dan selama gue ingat kita sahabatan, gue nggak pernah lihat dia clubbing apalagi minum. Gue pernah sih ngajak dia clubbing—kalau gue lagi khilaf—dia nemenin, tapi, cuma duduk di bar sambil pesen fruit punch dengan alkohol yang nggak bakal bisa bikin mabok. Gue? Gue nggak tahu berapa gelas wine yang gue teguk dan goyang-goyang kayang. Setelah itu gue kapok, khilaf clubbing lagi.

"Yuk cabut!" seru Acha sambil membenarkan ransel army-nya.

Gue menatap dia dari atas ke bawah. "Lo beneran mau ke Bandung pake hotpants sependek itu?"

***

Setelah dia ganti bawahan yang agak beneran—dress selutut motif stripe—kita berangkat ke Bandung.

"Lo punya lagu yang bagus nggak?" tanyanya pada gue sambil menyetel sound di dekat dashboard, sedangkan gue masih fokus dengan setir gue. Best Part-nya Daniel Caesar mengalun melalui sound. Ini kenapa lagunya mendukung atmosfer banget ya? Dan sejak kapan gue punya lagu ginian di flashdisk mobil?

Kepala Acha mulai goyang-goyang mengikuti alunan musik dan begitu lancar mengafal lirik tiap lirik. Suaranya dia nggak bagus tapi lumayan enak didengar. Gue menatapnya, bibirnya yang bersenandung, asik dengan lagunya.

If life is a movie

Oh you're the best part

Iya, gue berharap ini adalah film ketika sutradara bilang 'action' dan ini adalah bagian yang paling gue suka. Lihat lo nyanyi dengan tenang. Kadang memang menyenangkan lihat orang yang kita suka, menikmati dunianya sendiri dan kita tersihir untuk ikut dalam dunianya. Pandangannya yang nggak fokus sambil bersenandung. Gila! Apa ini bagian yang gue nggak hiraukan sebagai perasaan suka gue ke lo, Cha? Apa mungkin gue pura-pura nggak tahu?

About (More Than) FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang