Terikat

54.4K 1K 10
                                    

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."

(QS. An-Nur 24: Ayat 32)
_____________

Rania POV

“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Kamila binti Muhamad Yusuf dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan mas seberat lima puluh gram dibayar tunai.”  lelaki itu mengucap ijab qabul dengan sekali helaan nafas.

“Alhamdulilah sah. Sah.”

Riuh sambutan kerabat yang menghadiri pernikahan kami.

Kemudian seorang perempuan cantik menggamit lenganku, mengajak berdiri dan mendekati pengantin pria serta penghulu.

Aku melangkah seakan membawa berkarung beras. Berat dan sulit.

Kini dihadapanku, pria tampan berkumis dan jenggot tipis, tengah tersenyum lembut dengan mengulurkan tangannya, hendak memakaikan cincin kawin di jari manisku. “Sekarang cium tangan suaminya,” seorang bapak berumur sekitar lima puluh tangan berkata penuh wibawa.

_________________

Menjelang magrib aku pulang, seharian penat di kampus dan rumah baca ditambah jalanan yang tersumbat. Masuk lewat pintu samping, kebiasaan penghuni rumah, lebih nyaman. Selain juga lebih dekat dengan ruang makan, langsung istirahat sekalian makan.

Sempat kudengar sekilas, nenek berbincang dengan seseorang, mungkin teman lama atau kerabat jauh. Entahlah, mobil yang terpakir dihalaman seperti pernah melihat. Seharian berpuasa membuat kerongkonganku kering. 

Tanpa pikir dua kali, aku duduk menghadap meja. Meneguk air putih setelah berdoa. Lalu menunduk khusyu mendoakan mama dan papa. Rindu, rasa itu selalu hadir ketika mengingat mereka yang meninggal dalam kecelakaan pesawat lima tahun  lalu, saat aku berusia dua belas tahun.

Masih memakai seragam putih biru ketika abang menjemput dari sekolah. Kami menuju sebuah rumah sakit pemerintah. Setengah berlari abang menyeretku menjajari langkah panjangnya. Dan kami berhenti di depan sebuah ruangan. Lalu melangkah pelan menghampiri dua sosok yang terbujur kaku tertutup kain putih.

Seketika kami terisak dalam pelukan, saling memberi kekuatan.

“Eh udah pulang, lama banget berdoanya, minta jodoh ya, ini dibawain calonnya. “

Tiba-tiba suara serak abang Rifki menghentak, menyadarkan lamunanku. Eh apa tadi, dia bilang jodoh.

Aku mendongak hendak menyangkal sangkaannya, tapi kutemui seraut wajah di seberang meja tengah menatapku.  Kembali menunduk saat tatapan kami bertemu.

“Dek, nih kenalin dokter Erlangga, Dia seniorku di kampus.” abang kembali bersuara menjelaskan pemuda yang berdiri di sampingnya.

Aku mengangkat wajah, mengangguk tanpa senyum padanya.

“Ya udah lanjutin lagi berdoanya, biar lancar acara pernikahannya.” abang menggoda sambil melangkah meninggalkanku.

Sepeninggal mereka, hatiku bersungut, punya saudara satu seneng banget ngeledek.

_____________

Aku berdiri kaku dihadapan lelaki yang beberapa menit lalu menjadi suamiku. Menghampirinya dan membiarkan dia meraih tanganku lalu menyematkan cincin berhuruf R dan E. Kemudian kucium punggung tangannya, kaku.

“Cium, cium, cium,” teriak yang hadir penuh semangat.

Sempat ku tangkap dengan ekor mata,  nenek tengah tersenyum. Duduk berjajar dengan abang dan orang tua kak Erlangga.

Mendadak tubuh ini menegang seperti dialiri listrik. Tiba-tiba Erlangga mencium keningku, lama. Tubuh tinggi itu hanya berjarak setengah jengkal. Aroma parfum tubuhnya tercium hidung, wangi menthol bercampur citrus. Membuatku nyaman.

Mati-matian kutahan gemuruh hati yang entah apa namanya.

Setelah sungkem dan ramah tamah dengan saudara dan kerabat, aku meninggalkan acara.Tidak tahan berlama-lama di sana.

Masuk ke kamar, yang sudah dihias sederhana. Merasa asing. Ranjang dibungkus sprai putih tanpa motif. Disisi kiri, tersedia buah-buahan dan ceret minum beserta dua gelas. Aku melangkah melewatinya, menuju meja belajar. Sayup terdengar alunan lagu wali, sayang lahir batin, dari lantai bawah.

Dengarkanlah aku cerita hatiku
Cerita tentangmu
Aku mau ikhlas, ikhlas menyayangimu
Tutuplah matamu
Cukup aku dan Tuhan yang tahu

Aku telah berjanji menyayangimu
Lahir dan batinku
Aku telah berjanji mendampingimu
Lahir dan batinku

Andai engkau tahu ku siap mati untukmu
Jiwa dan ragaku
Cukup aku dan Tuhan yang tahu

Ah kenapa mendengarnya aku jadi teringat Erlangga. Segera kutepis pikiran tersebut.

Perjodohan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang