Menghabiskan liburan tanpa tahu harus kemana ditambah hati yang dirundung mendung rasanya seperti kabut yang tak kunjung bertemu rinai. Pikiran Rania merunut kesibukan yang menunggu di awal pekan. Pertama ada kuis bahasa latin lalu praktikum farmasetika dan farmakologi. Setelahnya ia masih memiliki janji dengan teman-teman ROHIS. Jabatan sebagai sekretaris senat membuatnya sering diundang rapat organisasi lain.
Gadis itu tidak bersemangat mengemas baju dan bukunya yang tidak seberapa. Tanpa ia sadari sepasang mata elang menatapnya tajam lalu menghembuskan napas pelan. Mereka berada dalam tempat yang sama namun pikiran terpisah. Masing-masing mengembara akan hal yang berbeda.
Erlangga memintanya untuk tinggal bersama di apartemen dengan pertimbangan jarak tempuh yang lebih singkat. Letak apartemen berada di tengah kota, dekat dari kampus Rania juga dengan tempat kerja Erlangga.
Dan kini keduanya berada dalam Toyota Altis dengan keheningan yang sengaja tercipta. Masing-masing enggan untuk memulai, khawatir menambah jarak yang terbentang.
Pelan tangan lelaki yang tenang memandang jalan menyentuh audio memutar tembang lawas. Sebuah lagu mengalun dengan tempo sedang. Jarinya beralih ke puncak kepala wanita disebelah mengusap sebentar sebelum menggenggam jemari yang sebelumnya kaku mencengkram ujung baju.Lembut ia meremas kemudian tersenyum hangat, masih dengan tatapan lurus melihat jalan.
“Mas,” Rania memandangnya sendu, manik itu tidak bersinar.
“Sebentar lagi kita sampai,” Erlangga memutus remasannya. Kembali fokus dengan kemudi.
*****
Kejora itu membulat, cantik hati Erlangga menggumam. “Ini apartemennya mas,” Rania menatap menunggu jawaban.
Namun suaminya hanya menaikkan sebelah alis lalu bergegas keluar mobil dan membukakan pintu untuknya. Ragu, tapi ia raih juga tangan yang menantinya. Erlangga membimbing gadisnya menuju lift, membawa ke kamar lantai sepuluh.
Rania melangkah dengan berat seperti seutas tali mengikat kakinya. Genggaman pria disampingnya makin erat membuatnya gugup. Dan napasnya seakan tersedak ketika tautan jemari mereka lepas, tangan kekar Erlangga telah merengkuh pinggangnya.
“Masuk,” satu tangan kekar membuka pintu lebar-lebar. Nada yang lebih terdengar memerintah membuat wanita dihadapannya kembali dalam alam nyata. Dokter muda itu memperhatikan dengan ekor matanya sang istri masuk menyeret koper ukuran sedang.
Gestur yang canggung serta senyap yang terhirup menjadikan netra keduanya saling mencuri. Akhirnya tuan rumah memulai, tanpa suara perlahan tangannya menuntun perempuan yang tegak berdiri di belakang pintu, menuju kamar utama.
Rania mengedarkan pandangan menyusuri ruangan yang baru dimasukinya. Sebuah ranjang king size, sepasang sofa kecil di sudut, lemari pakaian yang menyatu dengan dinding dan meja rias mini di sebelah tempat tidur, terdapat dua lukisan abstrak di dinding kepala kasur.
“Istirahatlah, aku tidur di sofa ruang tengah,” suaminya bicara tanpa ekspresi seakan tidak ingin dibantah.
“Kenapa?” tanya Rania gusar, kesabarannya kini hampir runtuh. Merasakan kemelut yang melilit, bagai tangan tak terlihat mencekik leher, menyisakan sedikit udara membuatnya terengah mengatur napas.
Sementara lawan bicaranya hanya menjawab pendek dengan wajah datar yang selalu menghindar bertatapan.
“Entalah, aku merasa...,” Erlangga menggantung ucapannya, “merasa kau lebih suka tidur sendiri.”
Ia selesaikan kalimat dengan membuang muka, menyembunyikan bahwa dia tidak akan sanggup bertahan bahkan mungkin tidak mampu mengendalikan jika sekali lagi berdekatan dengan istrinya. Miris bukan, dan ia tidak siap untuk penolakan yang kedua, dirinya tidak bisa menjamin tidak akan ada pemaksaan.
Sementara Rania yang mendengar jawaban palsu pria bertubuh atletis, seakan sedang marah atau menyindir tentang sikapnya kemarin malam.
“Tidak, mas tidur di kamar atau aku tidak mau disini,” wajahnya menunduk merasa bersalah terlalu lancang berani berkata seperti itu kepada suami.
******
Malam makin beranjak, meski langit perkotaan suram tertutup kabut polusi namun kerlip kejora tetaplah menawan menembus pekat gulita. Rania belum beranjak sedikitpun dari posisi semula, memandang langit gelap tanpa awan dengan hiasan bintang sekedarnya.Gadis penyuka hujan itu betah berlama-lama memandang cakrawala lalu berbincang tanpa jemu tentang purnama.
“Belum ingin tidur, besok ada kuliah bukan,” Erlangga mendekat menyandarkan diri pada besi pembatas balkon, di samping wanita berhijab panjang.
Rania mengangguk tanpa menoleh, jari kanannya memutar cincin yang tersemat pada jari manis sebelah kiri, tidak terganggu dengan kehadiran lelaki beralis tebal.
“Aku belum selesai mas, mengulang al-mulk,” jelasnya. Sedetik kemudian tangannya meraih tangan besar di sebelahnya, menciumnya takzim.
“Maaf untuk yang terjadi kemarin, aku harap engkau ridho.” Tangan mereka masih menyatu saling menggenggam.
Erlangga membawa kepala istrinya ke dalam dada, mengecup keningnya lama.
“Bisakah kau melupakannya dan kita mulai malam ini dari awal,” desisnya lirih menyentuh telinga pemilik mata bintang.
Kepala Rania mengangguk pelan dan merasa dagunya mengenai dada laki-laki berhidung mancung itu hingga ia menjerit tertahan ketika tubuhnya melayang. Erlangga menggendong tiba-tiba membawa masuk bidadari bernetra jeli. Dan ia tidak sempat protes saat jarak dipangkas singkat lalu mata yang bersinar menggoda membuatnya luruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan
SpiritualRania, mahasiswi semester tiga beranjak enam belas tahun. Tiba-tiba dijodohkan oleh sang nenek dengan Erlangga, seorang dokter, anak sahabat lamanya. Pernikahan yang dijalani harus disembunyikan karena Rania terikat perjanjian dengan pihak kampus, t...