"Aku berjanji tidak akan bertanya lagi." Rania menggerutu pelan namun terdengar jelas hingga ke telinga suaminya dan membuatnya tergelak.
"Haha, tidak perlu ada pertanyaan, aku pasti akan dengan senang hati mengulang kebiasaan kita." Ia tersenyum menggoda.
"Ralat bukan kebiasaan, tapi...," ucapnya menggantung menunggu reaksi wanita di depannya.
"Tapi pemaksaan olehmu." Erlangga menaikkan dagunya,berpura-pura menampilkan mimik serius. Sekuat mungkin menahan desakan untuk terpingkal.
"A... ku, aku memaksamu, benarkah?" Wajah Rania sudah memerah, rasa malu dan panas melingkupinya.
"Hmm, setiap malam dan sebagai suami yang baik, aku tidak bisa menolak." Sekarang ia menunjukan wajah sedih.
"A...ku menyesal jika sudah melakukan itu padamu." Suara Rania tersendat.
"Tapi jangan takut, aku berjanji tidak akan mengulanginya." Ia ucapkan dengan ringan dan air muka yang riang. Pandangannya berkata aku bisa dipercaya. Rania mengangguk-angguk menyakinkan lawan bicaranya.
Erlangga mendengkus tentu saja, bahkan engkau tidak perlu berjanji.
Irfan menjauh perlahan, ia harus memilih. Dalam hidup kadang kita berada di sebuah persimpangan yang mengharuskan sebuah pilihan. Sebuah putusan untuk terus melangkah. Karena diam adalah kematian. Berdiam diri tidak akan mendapatkan hasil kecuali keburukan.
Sejarah mencatat orang-orang besar yang merasakan cinta pada waktu dan tujuan yang tidak tepat. Seperti Julius Caesar dan Mark Antonius pada Cleopatra. Caesar telah beristri namun mengabaikan dan terus mengejar Cleopatra. Begitupun Antonius merelakan persahabatannya dengan Lepidus dan Oktavianus demi sang dewi.
Disisi lain ada sebuah dunia yang teramat bersahaja. Mengorbankan cinta fana demi cintanya pada Pemilik Cinta. Adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Umar bin Abdul Aziz. Thalhah begitu besar cinta yang dipendam pada Aisyah binti Abu Bakar sehingga menamakan anaknya serupa dengan sang pujaan.
Adapun Umar begitu kuat perasannya pada budak milik istrinya sendiri. Namun cukuplah ayat Al-Qur'an menyentakkan mereka akan alpa yang terjadi. Menjadikan tobat sebagai saksi bahwa mereka pernah tertipu. Tapi tangis dan air mata adalah bukti bahwa merekalah pemenangnya.
Bukan sekedar kalah dan menyerah, namun mengendalikan rasa cinta untuk yang hak. Memberikan yang terbaik padaNya adalah sebuah keniscayaan.
Dan ia sudah memilih sebuah jalan yang diyakini hatinya. Dengan menekan ego dan perasaannya dalam-dalam. Yang perlu dilakukannya hanyalah terus melangkah tanpa menoleh.
***
Gadis itu berpaling saat seorang perawat melepas jarum infus yang menancap pada pada punggung tangannya. Hampir jam sebelas ketika kantong darahnya yang terakhir habis."Sudah bu, alhamdulillah," Rania mendesah lega.
"Saya baru tahu kalau dokter Erlangga sudah menikah." Dia tersenyum tipis sambil melirik Erlangga yang tertidur duduk di sebelah kanan. Kepalanya direbahkan diatas kasur sementara tangannya terus menggenggam tangan istrinya.
"Sebenarnya ini yang ditungguin siapa, ibu atau suaminya?" Perawat itu bertanya seraya tertawa.
"Sampai kantong darahnya habis yang jagain pasien ngga bangun." Sambungnya membuatku ikut tersenyum.
"Kecapekan mungkin sus," sekilas wajahku menoleh ikut memperhatikan pria yang masih lelap di sisi.
Perawat tadi hanya mengangguk membenarkan pendapatku, lalu pamit setelah merapikan perlengkapan yang digunakan.
Pintu tertutup pelan menyadarkan bahwa hanya kami berdua dalam kamar ini. Erlangga meminta kamar perawatan vip meski hanya untuk transfusi darah. Tapi tidak ada perasaan canggung yang mendera, yang hadir adalah kenyamanan dan kerinduan. Entah rindu untuk siapa. Rindu itu begitu kuat dan tiba-tiba hingga membuatku ingin memeluk kenangan.
Dan potongan memori itu datang sekelebat, menukik bagai kilat sebelum gemuruh menyusul. Hanya bayangan punggung seorang gadis mengenakan kemeja pria yang kebesaran di tubuhnya sedang memandang kolam ikan di depan,dua tangannya menangkup gelas. Seperti merangkai puzzle dan menemukan bagian-bagian yang tercecer. Kepingan ini masih menunggu pecahan yang lain untuk menjadi gambar yang sempurna.
Sebelah tanganku terulur menyentuh rambut lebat lelaki yang masih terpejam. Halus. Dan jariku telah berpindah menyusuri mata tajam dengan lekuk yang menjorok. Netra ini sering membuatku bersembunyi sekaligus terpesona. Malu bercampur takjub.
Secuil pertanyaan mengganjal, siapakah bayangan gadis yang muncul dalam benakku? Pakaian siapa yang dikenakannya?
Aku akan bertanya padanya nanti. Kusimpan jemari yang masih menyentuh mata elang pria yang setia menemani. Khawatir ia terbangun dan tanganku masih berada di sana membuat pipiku memanas. Terlalu berani memegang laki-laki yang baru tadi pagi bertemu.
***
"Selamat pagi kesayanganku," Erlangga mencium puncak kepala wanita di sebelahnya yang masih terpejam. Rania menggeliat pelan, matanya memicing memastikan pemilik suara."Aargh," dia beringsut cepat, terduduk di tepi ranjang dengan napas dan degup yang berlebihan. Bagaimana tidak, ia terbangun dengan kedua tangan memeluk perut lelaki itu, kepalanya tenggelam dalam dada bidang miliknya.
"Kenapa bisa?" matanya memandang heran lelaki di depannya.
"Apanya yang bisa?" kedua alis Erlangga dinaikkan, menunggu Rania menuntaskan tanyanya. Kenapa hatinya merasa senang? Dia selalu senang bisa menggoda istrinya. Tapi tidak menyangka bisa segembira ini.
"Kenapa kita bisa satu ranjang?" Netra kejora itu berkata pelan dan ragu seraya melirik tempat tidur. Membayangkan berbagi ranjang sekecil itu dengan pria bermata elang.
"Semalam badanku pegal, sakit semua lalu kulihat ayang kedinginan. Yah sekalian berbuat baik." Dengan santai Erlangga merespon, kepalanya ia gerakan memutar untuk mengusir kaku yang menyerang.
"Lalu?" Rania masih bertanya meski ia tahu jawabannya.
"Lalu aku naik ke atas ranjang, tidur memelukmu." Wanita itu meringis mendengarnya. Sementara suaminya tersenyum lebar. Lalu ia mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya menyentuh telinga Rania, "jangan khawatir kita akan sering melakukannya nanti." Ia mengatakan dengan seringai yang membingkai wajah tampannya meski jejak bantal jelas membekas.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan
SpiritualRania, mahasiswi semester tiga beranjak enam belas tahun. Tiba-tiba dijodohkan oleh sang nenek dengan Erlangga, seorang dokter, anak sahabat lamanya. Pernikahan yang dijalani harus disembunyikan karena Rania terikat perjanjian dengan pihak kampus, t...