Sebuah bola salju telah tergelincir, mengalir semakin besar dan tidak terkendali, menghantam setiap penghalang yang ditemuinya. Mendadak benak Rania terlintas sebuah adegan film kartun kesukaannya, ketika Nobita dan Giant hendak bertemu Suneo tapi terkena cipratan salju. Lalu terjatuh kemudian menabrak pohon, membuat gumpalan salju makin membesar dan akhirnya menggelinding.
Netra bintang itu mengerjap pelan saat mendengar deheman Dina. “Ehm, maksudnya teman kamu ini,” ibu dua anak itu menjeda kalimatnya. “Dia suaminya Aisyah?”
“Rania bu, namanya Rania bukan Aisyah. Erlangga ini suaminya Rania, teman Irfan, waktu itu dia mau menyebrang ke Rumah Sakit tapi tertabrak karena aku ngga lihat.”
Erlangga hanya mengangguk sopan saat Dina menoleh padanya, menyapu penampilan dari atas hingga bawah. Kelegaan lebih menguasai setelah sahabatnya menjelaskan siapa dirinya. Spontan tangan kanannya merangkul istrinya, membuat Irfan berpaling setelah mengawasi sekejap dengan ujung mata.
“Saya ucapkan terimakasih atas semua yang ibu berikan untuk Rania.”
“Tidak perlu berterima kasih, Rania sudah kami anggap keluarga sendiri.”
Suaranya terdengar ringan, namun siapa yang tahu jika tersirat kesedihan dibaliknya. Dina tidak menyangka kalau Aisyah akan secepat ini bertemu dengan keluarganya. Ia masih berharap gadis itu melahirkan putranya ditengah mereka, merawat dan mengurus anaknya bersama dengannya.
Ah kerinduan menimang cucu kadang membuatnya melankolis, termasuk urusannya dengan Aisyah. Bahkan dalam hati kecilnya ia menyimpan asa, Aisyah tidak pernah bertemu keluarganya dan kalau itu sampai terjadi tentu saja ia akan memaksa anak sulungnya untuk menikahinya. Terkesan egois memang, sejauh ini niatnya hanya terkubur dalam pertentangan batin, bahkan meminta dalam doa malam pun ia merasa malu.
“Istirahat dulu Ran,” suara Irfan menyilakan dua pasangan muda itu, menyentaknya kembali ke alam nyata. Tanpa sadar dirinya menahan napas saat Rania dan Erlangga pamit masuk ke dalam kamar putranya. Seketika pengajian yang disiapkan sejak kemarin tidak lagi menarik minatnya.
***
Jemari lelaki itu menyisir seluruh ranjang mencari keberadaan istrinya, sementara matanya belum lagi terbuka penuh. Sadar tidak menemukan orang yang dicarinya, seketika kesadarannya mendadak utuh. Bibirnya menggumam tidak jelas tapi pikirannya mengingat hal sebelum ia terlelap.Rania tampak menurut saat ia mendekapnya, menyandarkan kepala hingga menyentuh dada bidang suaminya. Dan sampai sekarang aroma fresh flower yang menguar lembut masih bisa ia rasakan. Mengingat itu selalu bisa membuat bibirnya melengkung simetris.
Erlangga mengedarkan pandangan, berharap sosok yang diinginkan ada didekatnya. Nihil. Ia sendirian dalam kamar berukuran 4x4 meter tersebut.
Dokter muda itu menggeliat sesaat sebelum mengenakan kacamata, bermaksud mencari gadisnya. Yang tampak di hadapannya setelah menyibak gorden adalah ruangan kosong yang tertutup karpet. Samar indera pendengarnya menangkap suara dari arah belakang. Refleks kakinya bergerak cepat ke arah sumber suara.
Namun tubuhnya sesaat membeku, rahangnya mengeras demi melihat pemandangan di depannya. Rania dan Irfan sedang duduk di meja makan, meski tidak terlalu dekat. Istrinya terbatuk saat mengunyah sepotong pisang yang disodorkan sahabatnya, tangan Irfan tanggap menyodorkan minum.
Entah apa yang diucapkan lelaki itu hingga mereka tertawa sesudah batuk Rania reda. Aura kebahagiaan yang muncul diantara mereka membakar rasa cemburu dalam hatinya.
“Ehm,” sengaja ia berdehem untuk menyudahi getir yang mulai terasa. Dengan gerakan kaki yang amat lambat ia menghampiri dua pasang mata yang menoleh padanya.
“Lagi ngapain nih, ngga ngajak-ngajak.” Sebisa mungkin ia menegur dengan nada yang riang.
“Tadi aku lapar mas, keluar cari makanan. Eh ada Mas Irfan di sini.” Rania menjawab sambil meringis memamerkan deretan gigi rapinya. Bibirnya alami kemerahan tanpa sapuan tambahan membuat Erlangga terpaku sebentar.
“Ehm Fan, kita ngga enak nih ngerepotin keluargamu. Kalo acara sudah selesai, boleh ngga aku sama Rania langsung pamit?” Akhirnya keluar dengan lancar, alasan yang sedari tadi ia susun. Sejak dirinya sampai di rumah karibnya, ia merasa penerimaan yang didapat berbeda dengan yang diterima oleh Rania. Mudah mudahan hanya firasatnya saja.
“Boleh aja, tapi Rania ngga kecapean?” Irfan melirik Rania memastikan ucapannya.
“De gimana, kuat ngga?” Jarinya meremas tangan kiri Rania saling menautkan. Ia menunduk lalu mengangguk, jawabannya jika sedang tidak yakin.
“Aku tidak punya hak untuk melarang, kamu yang bisa mengukur kemampuan Rania.” Irfan bergegas bangkit meninggalkan Erlangga dan Rania. Ia tidak mau terlalu jauh ikut ke dalam persoalan mereka. Apalah dirinya yang hanya pihak luar, salah salah malah berujung pada kekeliruan.
“Masih lapar?” Tiba-tiba Erlangga mengganti topik pembicaraan, membuat Rania tertegun sebelum mengangguk cepat. Parasnya polos mirip anak SMA, memang secara usia ia seharusnya berada di jenjang tersebut. Karena akselerasi yang diikuti membuatnya lebih cepat beberapa tahun.
“Cari makan yuk, “ pria tampan itu menunggu jawaban, tapi bintang kejoranya hanya memandang seperti berkata aku mau di sini aja. “Ehm, boleh makan pisang aja?” Pertanyaan apa itu, jika dia suka ya makan saja.
Lebih dari itu, Rania menghargai perasaan suaminya. Khawatir tidak suka, khawatir cemburu kalo istrinya memakan masakan orang lain. Apapun itu ia menimbang keberadaan Erlangga.
“Mau ini aja?” ucapnya meyakinkan. Sebenarnya ia bukan meragukan jawaban Rania tapi bertanya pada dirinya sendiri. Ia sedang menyakinkan dirinya bahwa Rania menyukai makanan buatan sahabatnya. Dan satu fakta lagi, Irfan sangat tahu makanan kesukaan Rania hingga ia mau bersusah payah memasak untuknya.
Pengorbanan yang sepadan. Bahkan ia ragu, apakah tahu tentang Rania sampai sejauh itu. Apa yang disuka dan apa yang tidak disuka. Selama ini dalam pikirannya selalu dipenuhi pertanyaan bagaimana agar Rania menyukainya.
“Ya boleh dong, apa sih yang ngga buat ayang.” Berusaha tetap terdengar ringan padahal hatinya mulai panas. Bagaimanapun ia seorang lelaki yang harus setinggi mungkin menjunjung gengsi. Baginya gengsi serupa dengan harga diri.
Gadisnya hanya mengangguk lalu mulai mengambil sepotong pisang rebus sisa siang tadi. Erlangga hanya memperhatikan Rania yang makan dengan lahap, berharap asupan yang didapat cukup menambah energinya. Sehingga istrinya mampu menempuh perjalanan pulang nanti.
Tbc. Hai sekarang aku sedang di Haram, jadi mulmed dikurangi dulu ya. Masih bisa posting aja bersyukur banget, nulis disela sela aktivitas dengan perbedaan waktu yang lumayan berdampak ke badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan
SpiritualitéRania, mahasiswi semester tiga beranjak enam belas tahun. Tiba-tiba dijodohkan oleh sang nenek dengan Erlangga, seorang dokter, anak sahabat lamanya. Pernikahan yang dijalani harus disembunyikan karena Rania terikat perjanjian dengan pihak kampus, t...