Ingatan Yang Menggigit

11K 365 31
                                    

Alhamdulillah, akhirnya sampai. Separuh hatiku mengucapkan kelegaan, sementara sebagiannya menyayangkan. Melirik sekilas ke balik punggung, seorang gadis masih bertumpu dengan mata terpejam.

Tadi pagi, sekitar jam tujuh kami berangkat dari rumah sakit, setelah memastikan ia boleh dirawat jalan. Aku menghela napas, membiarkan penumpang di jok belakang tidur lebih lama. Dia bahkan tidak menyadari kami telah berhenti.

“Mas, mau sampai kapan disitu,” adik ragilku Dewi berseru. Bergegas menghampiri, ketika kakaknya belum juga bergerak.

“Ya Allah, ada yang dibonceng ternyata,” matanya berpaling pada Aisyah yang  terbangun mendengar teriakannya.

Belum mendapat jawaban, Dewi sudah kembali masuk ke dalam rumah. “Mamaa, papaa, mas sudah datang. “ Bahkan panggilannya terdengar dari luar.

Aisyah beringsut menjauh lalu turun dengan pipi bersemu. Bertepatan dengan keluarnya mama dan Dewi. Si bungsu berbisik kepada mama seraya mendekati kami.

“Alhamdulillah, kamu pulang nak.” Mama menyambutku seperti biasa, penuh sukacita. Segera kustandarkan motor, menyalami beliau lalu  menghambur dalam pelukan hangatnya.

“Jadi, sekarang kamu bawa calon menantu mama?” Matanya melirik penuh arti pada Aisyah.

“Ah, iya maa, kenalkan ini Aisyah, nanti Irfan jelasin di dalam aja ya.” Jawabku sedikit gugup.

“Mas, biasa aja ngga usah grogi.” Dewi menyela lalu tersenyum simpul. Kubalas dengan pelototan, diamlah. Apa suaraku terdengar seperti orang yang canggung.

Aisyah maju menghampiri mama, mencium takzim punggung tangan beliau. Mama balas merangkul. Tiba-tiba lenganku disikut dengan keras, siapa lagi pelakunya. Dewi mengangkat kedua alisnya sambil memajukan dagu, matanya bersinar jenaka.

“Akhirnya masku sold out,” bisiknya sembari menghindar dari cubitan.

Tanganku menggaruk tengkuk yang mendadak gatal, mengikuti mereka, para wanita di depanku. Sepertinya mama lupa punya anak laki-laki, hanya Aisyah yang diajak makan sambil ngobrol.

Kakiku melangkah menuju kamar depan, tempat papa tertidur, habis minum obat kata Dewi. Alhamdulilah keadaan papa sudah lebih baik, hanya disarankan menjaga pola makan dan istirahat teratur. Melihat wajah tuanya penuh dengan gurat usia.

“Maa, sudah dulu ngobrolnya. Aisyah lelah kayanya.” Aku mendekati mereka yang sibuk bertanya pada tamunya.

“Oh, iya cape ya, istirahat dulu deh. Dewi ajak ke kamar kamu nduk.”

“Mas perhatian banget sih sama calonnya.” Lagi-lagi Dewi membuatku bengong.

“Ma, Irfan mau bicara tentang Aisyah,” pintaku setelah adikku dan Aisyah meninggalkan kami.

“Apa yang mau diomongin lagi toh. Mama setuju banget sama pilihanmu. Meski awalnya kecewa, kamu menolak dijodohin.”

“Bukan ma, Aisyah itu bukan calonnya Irfan.” Aduh kenapa jadi rumit begini. Akhirnya kuceritakan awal pertemuan kami, tabrakan yang mengakibatkan semua masalah di muncul hadapan kami.

Mama hanya bisa diam dengan wajah yang jelas terlihat kecewa.

“Jadi dia bukan calon menantu mama?” Suaranya getir, meminta penegasan.

“Bukan, dia istri orang dan sedang mengandung. Mudah-mudahan ingatannya segera kembali.” Ucapku tanpa keyakinan.

“Kalo ingatannya tidak dapat kembali, bagaimana?” Pertanyaan yang menghentak kesadaranku, bahwa tidak ada yang bisa menjamin gadis cantik seputih pualam itu akan mendapatkan memorinya lagi.

“Hmm,” Irfan ngga tau ma. Ucapku seraya menggangkat kedua bahu. Pasrah.
  ***
Selesai shalat subuh, aku bicara dengan Irfan. Teman seasrama, selama tinggal di Yogya kami disediakan mess. Padanya kuceritakan tentang Rania yang tidak menjawab telpon. Jujur, ada sedikit khawatir dan takut.

Sekilas kulihat jam dinding menunjuk angka enam lewat lima belas menit. Aku masih santai tiduran sambil memejamkan mata menikmati suara merdu Rania bertilawah, kurekam tanpa sepengetahuannya.

Dan ketika hampir terlelap, ranjang yang kutiduri bergoyang. Gempa susulan, cukup keras. Semua serba mendadak, aku tidak sempat menghindar, saat sebuah benda tajam melukai kelopak mata.

Syukurlah retina atau lensa mataku tidak apa-apa. Hanya kelopak mata sebelah kanan yang tergores, bagian kiri lebih ringan lukanya.

Jadilah kedua mataku tertutup perban. Dokter memberi izin tiga hari untuk cuti berkerja. Sebelum pulang, Irfan sempat menjenguk, menunda kepulangannya karena telah menabrak seorang wanita.

  ***
Kini, sepekan sekali aku pulang ke rumah. Tentu saja, mama sangat senang, anak laki-lakinya ingat jalan pulang. Kalo dipikir-pikir aku seperti suami yang menjenguk istrinya tiap minggu karena bekerja jarak jauh.

Tapi memang setiap hari jumat, hatiku tidak bisa dikendalikan. Rasanya ada yang melonjak dalam jantungku. Berdegup tidak teratur, ritme yang sungguh berantakan. Dan aku menyukainya, selalu berharap semua hari adalah Jumat, dimana sorenya adalah waktu untuk pulang.

Sudah sebulan Aisyah tinggal di rumah, ia sudah lebih baik dari sebelumnya. Ingatannya belum pulih, namun mau bergaul, tersenyum dan bicara lebih banyak. Bahkan gadis berjilbab itu mencoba mengajar mengaji di surau.

Aku selalu suka mendengar ia bertilawah. Biasanya selepas subuh atau menjelang tidur ia akan mengaji sebentar.

Hari ini selain pulang menjenguk keluarga, aku juga berencana akan mengajak Aisyah memeriksa kandungannya ke dokter. Ah, lagi-lagi aku mirip seorang suami yang menemani istrinya bertemu dokter kandungan.

“Sudah siap?” tanyaku basa-basi sekedar  menormalkan debaran yang makin kencang.

Aisyah mengangguk tanpa senyum. Lalu beralih pamit pada mama dan papa. Sudah seperti anak bungsu yang kedua, ia memang sebaya dengan Dewi.

Kami berjalan beriringan, diantar mama sampai gerbang. “Pelan-pelan aja bawa motornya, jaga cucu mama.”

Sempat kulihat wajah yang merona, tapi tidak ia pedulikan.

Aisyah menolak diperiksa dokter laki-laki, jadilah kami berputar menghabiskan malam mencari spesialis kandungan wanita. Untuk kota kecil disini sulit menemukannya.

“Sama bidan aja mas,” putusnya. Mungkin ia kelelahan atau kasihan melihatku berkeliling.

“Denyut jantung bayi bagus, tekanan darah ibunya juga cukup. Hanya hbnya agak rendah. Nanti saya kasi vitamin biar hbnya cepat naik. Banyakin makan sayuran hijau dan daging merah ya pak istrinya.”

Aku duduk di sebelah Aisyah mendengar nasihat bidan di depan kami. Tapi dia tegas melarangku masuk bilik periksa.

“Masa sama suami sendiri malu bu.” Tanggapan bidan tersebut. “Yang sabar ya pak, mungkin ibunya ngidam jauhan dari bapak.”

Kurasakan pipiku panas dan tangan bergetar. Andai sesederhana itu.

  ***
Hampir sebulan aku ada di ibu kota, dan genap satu purnama kehilangan istri. Putus kontak sama sekali, berulang kali mendatangi kantor polisi, mencari setiap rumah sakit dan juga bertanya pada semua teman-temannya. Semuanya nihil.

Setelah penglihatanku kembali, namun disisi lain ada yang lebih menyakitkan. Yaitu kehilangan separuh denyut nadimu. Kehilangan degup jantung, Rania bagiku seperti kekuatan yang sanggup memberi energi agar jantung terus berdetak.

Dimana ia, apakah baik-baik saja. Aku tidak siap dengan kejutan ini, terlalu menyakitkan.

Hai, aku kembali lagi. Kangen banget sama Rania, btw cerita ini sebentar lagi selesai loh.

Perjodohan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang