Bersembunyi

12.1K 413 15
                                    

Wangi tanah basah
Irama rintik air
Juga desau angin
Hingga kabut yang berpendar

Adalah tentang dirimu
Semua kenangan padamu
Hujan datang
Dan membawamu
Di hadapanku

Erlangga_

Laki-laki berkemeja biru yang terbungkus snelli segera berlari menghindari hujan yang turun tiba-tiba. Berlindung di bawah tenda pengungsian yang digunakan sebagai balai pengobatan sementara. Sebagian bajunya dan wajahnya basah, namun hatinya telah tenggelam dalam genangan rindu.

Ingatannya berputar tentang tarian konyol yang mereka lakukan saat hujan. Mengingatnya, menjadikan sudut bibirnya tertarik ke atas, membuat segaris senyum. Gadis itu suka sekali hujan, dan ia akan memaksa dirinya bermain di bawah guyuran air. Namun, jika kondisi sedang kurang sehat, maka segelas coklat hangat menjadi teman melamun di samping jendela, dan jarinya menggambar mengikuti bulir air.

Mengapa kenangan itu datang dan memeluknya. Membuatnya menggigil kedinginan. Tangan Erlangga menepuk pundak dan pergelangan tangan, berusaha menghalau dingin.

"Mau teh hangat?" suara renyah menyapu indra pendengarannya. Wajah yang cerah dengan senyum hangat, seperti mentari yang membuat hujan menepi. Tapi kali ini Erlangga berharap hujan tidak segera pergi, ia masih ingin menari bersama hujan, meski hanya dalam imajinasinya.

Karin, masih memasang wajah ceria, menunggu jawaban. "Malah melamun, Angga mau teh ngga?" Suaranya naik beberapa oktaf.

"Eh, nawarin aku ya?" Erlangga belum sepenuhnya sadar.

Gadis di dekatnya mendengus kesal. "Ya iyalah, secara yang dekat aku kan kamu."

Erlangga masih tersenyum, mengabaikan kekesalan rekan sejawatnya. "Maaf rin, masih belum move on, kepikiran istri di rumah. Hhm, boleh deh tehnya."

Karin tidak peduli lagi dengan tawarannya. Matanya melebar, sejenak terpaku, tidak percaya dengan pendengarannya. "Eh apa, istri, kamu udah nikah, serius ?"

Yang ditanya hanya mengangkat bahu acuh, "kepo dech," disertai tawa ringan.

Bersamaan dengan mulut Karin yang terbuka hendak mendesak meminta jawaban, seorang laki-laki masuk tergesa-gesa. Raut wajahnya panik dan bicara terbata-bata, "dok,dok, to... to... long... is... tri saya me... lahir...kan."

Segera Karin menyambar tas kerjanya. "Cepat pak, tunjukkan jalannya." Mereka berjalan beriringan dengan langkah lebar di bawah gerimis.

Sepi. Belum ada pasien lagi menjelang tengah hari. Bibir Erlangga tersenyum mengingat percakapannya dengan Rania melalui video call. Gadis itu selalu manis meski sedang merajuk. Sudah berkali-kali ia menawarkan istrinya untuk tinggal di rumah nenek. Tapi Rania tetap bergeming untuk tinggal di apartemen mereka.

"Mas, aku udah ngantuk," ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Tubuhnya bergelung dengan selimut.

"Sebentar lagi dong, aku masih kangen, ayang ngga kangen?" Erlangga berusaha mengulur waktu.

"Ngga," sedikit membuang muka.

"Beneran ngga kangen?, kok pakai baju mas, kangen ya?" nada suaranya menyimpan tawa.

Rania hanya bisa diam, namun wajahnya merah merona. "Baju sedang habis," ia menjawab pendek.

"Oh iya benar, habis ya." Suaminya menggoda lagi.

Rania aku tahu kamu juga merasakan rindu yang sama.

"Angga, shalat bareng yuk." Irfan relawan asal Yogya sudah di hadapannya.

Erlangga mengangguk, "aku nanti aja nyusul nunggu Karin datang."

"Itu Karin udah datang, lagi terima telpon."

"Loh udah datang, ya sudah kita shalat." Erlangga berdiri lalu memberi isyarat kepada rekannya yang duduk di ujung.

"Kenapa?" Irfan bertanya tiba-tiba.

"Kenapa, apa?" Erlangga bertanya balik, kebingungan.

"Kenapa hari ini kamu ngga fokus?"

"Aku kangen." Matanya menerawang, "sudah satu minggu tugas disini, tapi seperti sebulan."

"Sabar, di sini cuma sebulan, kalo ngga bisa ditahan kangennya, suruh datang aja yang dikangenin."

Erlangga mencerna kata-kata yang meluncur dari sahabatnya. Meski baru bertemu seminggu di sini, mereka teman bicara yang cocok. Usia Irfan terpaut dua tahun lebih muda, jarak yang tidak berarti dilihat dari kematangan sikapnya.

***
Prraang, riuh seisi laboratorium mendengar bunyi kaca pecah. Praktikum kimia dasar pagi itu, tentang reaksi fusi dari asam sulfat terhenti sejenak. Seorang gadis meringis memegang tangannya, terluka terkena pecahan buret.

"Silahkan diobati dulu, tanganmu Rania." Bapak Hamid, dosen mata kuliah kimia menyela keramaian yang terjadi seketika.

"Dilanjutkan titrasinya, yang sudah selesai, boleh laporan di sini." Suara beliau menyentakkan gemuruh yang belum reda.

***
"Temani aku yuk, beli buret untuk mengganti yang pecah tadi pagi." Rania menghempaskan diri di sebelah Naila yang sibuk menyalin catatan mikrobiologi. Kelas sedang lenggang, sebagian sibuk di kantin.

Sahabatnya hanya mendengus tanpa menoleh. "Kamu tuh kenapa sih bisa mecahin buret, harganya mahal tau."

"Iya, aku tau harganya mahal, ngga usah diingetin juga udah tau. Sakitnya tuh disini."

Naila meletakan penanya, lalu memandang Rania disertai senyum menyeringai. "Jangan bilang kamu lagi kangen sama Erlangga."

Punggung Rania menegang sedikit, wajahnya gugup. Sesaat mulutnya kelu, tidak mampu menjawab godaan karibnya. "Aku ngga kangen sama sekali."

Mendengar jawaban tersebut, Naila tergelak, mengejek dengan satu alis terangkat. "Udah jelas banget itu ciri orang yang terjebak rindu. Kamu tuh ngga bisa menghindar, mulut kamu bisa mengelak tapi mata kamu jelas banget mengatakan hal sebaliknya."

"Nai, ini jurusan farmasi kan. Tapi kamu udah kaya mahasiswa psikologi deh."

"Jangan mengganti topik, pembicaraan kita belum tuntas. Jujur sama diri sendiri Ran"

"Terus aku harus jawab apa Naila Azizah. Pertanyaan kamu bikin mual, aku mau ke toilet dulu." Rania bergegas meninggalkan kelas menuju lorong, tangannya menutupi mulut, menahan sesuatu.





Perjodohan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang