Hari belum benderang, suara azdan subuh dari ponsel menarik alam sadarku. Badan terasa lelah, semalam baru tertidur menjelang tengah malam. Pelan, tubuhku bergeser, bersandar pada kepala ranjang. Berkali kukucek mata yang setengah terpejam, memastikan penglihatan di hadapanku, seorang lelaki dengan baju koko dan sarung tengah khusyu shalat.
“Udah bangun?” tanyanya setelah mengucap salam. Kepalaku menggangguk lesu, merasakan kantuk yang menggelayut.
“Istirahat dulu,” ucapnya seraya berdiri mengacak rambutku lalu menuju dapur.
Tidak lama berselang harum masakan menggelitik indra penciumanku. Aku sudah mandi dan berpakaian rapi bersiap pergi kuliah. “Masak apa mas?” terpaku melihat pemandangan pagi.Erlangga menghadap kompor, menggunakan celemek berwarna merah dengan centong kayu tengah mengaduk makanan dalam penggorengan.
“Buat nasi goreng untuk istri tercinta,” jawabnya dengan senyum jenaka.
Mataku membulat takjub, “kenapa ngga minta tolong,” lebih terdengar bicara pada diri sendiri.
“Sesekali aku mau tunjukkin keahlian masak sama istri.” Alisnya terangkat, dia tampak santai memakai kaos oblong putih dan celana pendek selutut. Dalam sekejap dua piring nasi, masih mengepul telah tersaji di atas meja makan.
Dia menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya. “Makan dulu dek, masakan chef Erlangga, pasti ketagihan.” Ujarnya penuh percaya diri.
Tidak butuh waktu lama piringku sudah bersih tidak bersisa. “Alhamdulillah, enak.” ucapku jujur. Pria di depanku berhenti menyendok, menatap dengan mulut penuh makanan sambil tersenyum. “Benar kan, pasti mau lagi, siapa dulu dong yang masak.” Sambil menepuk dada bangga.
Bibirku melengkung menampilkan barisan gigi sambil mengangguk setuju.
“Mas kok santai, hari ini libur ya?” laki-laki itu menanggapi dengan tenang, “ngga, Selasa dan Rabu aku kuliah sampai siang, habis itu baru kerja sampai malam. Kamu pulang sendiri ngga apa-apa? “ Nasinya sudah ludes, dia berdiri membawa piring kotor ke wastafel lalu mencucinya.
Kepalaku mengangguk cepat. “Kalo begitu aku berangkat duluan ya,” bergegas berdiri, hendak pamit. Tapi tangannya menahan, “tunggu sebentar, aku antar,”
Pukul tujuh kami siap berangkat, bergabung bersama hiruk pikuk lalu lintas pagi hari. Pelan aku menghela nafas, terlambat lagi, jam pertama ada praktek farmasetik. Ah, memikirkannya makin membuat resah.
Jarum jam menunjukkan angka delapan kurang lima belas menit saat mobil telah berhenti di depan kampus. Tergesa aku meraih tangan kanan suamiku kemudian menempelkan di hidung mungilku. “Yang ini belum,” ujarnya menunjuk bibir.” Seperti biasa ia akan mencium kening, hidung dan terakhir bibir, berurutan. Tercium aroma mint dan lemon, parfum kesukaannya. Membuat pipiku merona dan menghindar dengan membuka pintu mobil.
Berlari aku menuju tempat praktek, mengabaikan pandangan heran teman-teman dan dosen. “Maaf bu terlambat,” mengucap izin pada Ibu Dian, dosen pengampu mata kuliah farmasetika. “Iya saya tahu kamu terlambat, tapi peraturan kita jika telat lebih dari setengah jam maka tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan kuliah.” Ucapnya tegas mengusirku keluar.
Percuma membantah, beliau adalah dosen yang sangat disiplin terhadap waktu dan aturan. Di luar gedung, ku tatap gawai, mengirimkan pesan singkat, aku telat ngga boleh masuk jam kuliah pertama. Status terkirim dan langsung dibalas semangat katanya disertai emot cium.
Masih satu jam lagi sebelum jam perkuliahan kedua dimulai. Dan aku sekarang di sini, duduk di lorong kelas yang sepi. Menghela nafas pelan sekedar melepas gundah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan
SpiritualRania, mahasiswi semester tiga beranjak enam belas tahun. Tiba-tiba dijodohkan oleh sang nenek dengan Erlangga, seorang dokter, anak sahabat lamanya. Pernikahan yang dijalani harus disembunyikan karena Rania terikat perjanjian dengan pihak kampus, t...