Tubuhku mematung ketika Dewi menyodorkan gawai milik abangnya. Ia meminta bantuan untuk memberikan pada mas Irfan karena ponselnya berbunyi. Dan yang membuatku terkunci adalah nama yang muncul pada layar Erlangga. Hanya itu, bahkan aku pun tidak tahu apa arti nama tersebut.
Tapi sebait nama itu mampu membuat detak jantungku riuh menderu. Sanggup membuatku tersedak karena rindu yang meluap. Meski aku bingung, merindu pada siapa?
“Terima kasih Ai,” ucap lelaki pendiam itu lirih sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk kemudian berlalu ke dapur, tempat para wanita berkumpul.
Kami akan memasak soto ayam, kesukaan mas Irfan. “Ai, sini tolong kupas bawang putih.” Mama memanggilku lembut.
Tanpa suara kudekati mama dan mengerjakan perintahnya.
“Tadi kamu pingsan ya Ai. Kata mas Irfan kamu pingsan di halaman belakang.” Dewi bertanya dengan tangan sibuk memotong mentimun.
Gerakanku terhenti sebentar. “Ehm, cuma lemas aja. Ngga apa-apa kok.”
“Jangan dianggap sepele. Wanita hamil itu perlu gizi dan tenaga yang cukup untuk ibu dan anaknya. Lebih baik besok kamu ikut Irfan ke rumah sakit. Periksa sama dokter kandungan.” Mama memberi saran.
“Tapi ma, Ai beneran ngga apa-apa.” Aku masih berkeras.
“Pokoknya mama ngga mau tahu. Kamu besok ikut Irfan ke rumah sakit.”
***
Kadang aku ngga tau apa itu rasa sakit dan bagaimana menghadapinya. Karena yang aku rasakan adalah kehilangan semua rasa bahkan untuk sekedar tersenyum serasa seluruh otot mati rasa. Gangguan fungsi otak yang tidak selaras dengan tubuhku.Dan aku belajar, meski tidak mudah. Aku belajar menerima, ikhlas terhadap takdir. Mencoba menjalani setiap goresan yang telah Dia tetapkan untukku.
Awalnya tidaklah mudah, semua aku pertanyakan. Mengapa saat nadiku mulai berdenyut seirama, saat detak jantung menemukan ritmenya. Serta merta semua tercampakan. Mendadak hampa bagai langit tanpa bintang. Sepi.
Sekarang aku kembali di sini. Kembali ke Yogya, dengan harapan yang selalu penuh padaNya. Berharap Ia akan membantuku menemukan belahan jiwa.
“Assalamu'alaikum. Dokter Erlangga ya?”
Aku mengangguk membenarkan lalu melirik sekilas jam di pergelangan tangan kiri, pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit.
“Silakan, sudah ditunggu oleh dokter Pudji.” Ia adalah Direktur Rumah Sakit Daerah Bantul.
Aku mengikuti langkah pria di sebelah kananku. Kami berjalan di selasar rumah sakit, melewati kamar rawat inap menuju bagian ujung tempat seluruh pegawai berkantor.
Laki-laki menjelang paruh baya yang mengantarku minta diri setelah kami sampai di depan pintu dengan tulisan Dr. Pudji Prasetyo, Spd. garis bawah DIREKTUR.
Perlahan kubuka handle pintu setelah mengucap salam dan mengetuk pintu tiga kali. Seorang bapak berkisar menjelang lima puluhan menyambutku ramah. Wajahnya hangat dan bersahabat.
“Terima kasih atas kesediaan dokter Erlangga untuk bergabung bersama kami.” Ia menjabat tanganku. Kami berbicang banyak hal tentang keluarga, juga pekerjaan.
“Jadi dokter sudah menyelesaikan spesialis? Internis?” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Bagus, jadi saya bisa minta tolong digantikan beberapa hari ini.” Ia melanjutkan.
“Tentu saja,” jawabku sopan.
“Nanti kita bisa menambahkan jadwalmu pada praktek bersama rumah sakit.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan
SpiritualRania, mahasiswi semester tiga beranjak enam belas tahun. Tiba-tiba dijodohkan oleh sang nenek dengan Erlangga, seorang dokter, anak sahabat lamanya. Pernikahan yang dijalani harus disembunyikan karena Rania terikat perjanjian dengan pihak kampus, t...