Aishiteru

1 0 0
                                    


Aishiteru

Aku menyukainya sejak lama. Mungkin sekitar 2 tahun atau lebih. Tapi selama itu aku tak pernah sekalipun mendapat lirikannya. Ya, sulit memang mendapat perhatian pria itu. Dia begitu dingin, namun tetap menarik bagiku. Aku tak tau harus dengan cara apa aku menarik perhatiannya. Aku ini hanya gadis biasa, dia tak akan tertarik denganku.

Pria itu bernama Yoshinori Akihiko, atau biasa dipanggil Hiko. Pria cool dan jenius yang menjadi idola di sekolah. Duduk di bangku 3 IPA 1, sama denganku. Sejak aku menyukainya aku tau bahwa dia menyukai siswi 2 IPA 1 yang berada di kelas sebelah. Siapapun tau hal itu. Pria itu berubah 180 derajat saat bersama gadis itu. Itu terkadang membuatku iri. Gadis itu tak menyukai Hiko, tapi masih tetap dikagumi.

Hiko adalah pria yang keras kepala. Mau siapapun yang memberi tahunya untuk berhenti menyukai gadis bernama Avaron Naomi, pria itu akan tetap menyukainya. Bukankah seorang capricorn itu akan sepenuh hati bila menyukai atau membenci seseorang? Ya, Hiko sudah menjadi buktinya. Dia akan terus menyukai Naomi dan melakukan segala cara untuk mendapatkan hati gadis itu.

Dan... sebenarnya tanpa sepengetahuan pria itu Naomi sedang menyukai pria lain, yang tak lain adalah Akio Izanagi.. sahabatnya sendiri. Menurut yang aku dengar Naomi menyukai pria pemain itu karena dia jauh lebih menyenangkan. Tidak kaku seperti Hiko. Izanagi romantis dan juga humoris. Meski Izanagi adalah pemain dan hobby 'mengkoleksi' mantan tapi itu tak membuat perasaan Naomi berubah terhadapnya. Yang lebih parahnya lagi Naomi tidak akan pernah menyukai Hiko meski pria itu mati karenanya. Konyol memang.

Kadang aku merasa kasihan dengan Hiko. Naomi adalah cinta pertamanya, dan dengan teganya Izanagi merebutnya. Aku berharap suatu saat jika Hiko tau dia tidak akan melakukan hal bodoh. Dia harus tau walau seperti apapun dia aku akan tetap menyukainya. Aku, Natsuko Aimi akan selalu menyukai Yoshinori Akihiko.

Pria itu memperbaiki jaket di bagian bahunya yang sedikit turun, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan berjalan dengan angkuh tanpa mempedulikan tatapan kagum siswi-siswi yang terus mengikutinya. Tatapannya yang tajam dan wajah datar miliknya membuatnya terkesan dingin dan angkuh. Tapi meski begitu, tak ada hal yang bisa menyurutkan perasaan siswi-siswi itu terhadapnya. Mereka hanya bisa melihat ketampanan, kecerdasan, dan pembawaan pria itu yang seolah menjadi magnet yang terus menarik hati mereka. Pria itu mendekati kata 'sempurna'.

Namun, dibalik itu semua... ada sesuatu hal kurang darinya. Semua yang siswi-siswi itu lihat darinya tak berlaku untuk seseorang.

'wherever you are I'll always make you smile
wherever you are I'm always by your side
whatever you say kimi wo omou kimochi
I promise you 'forever' right now, wher–'

"Ciee.. ada yang sedang jatuh cinta nih. Ada bunga-bunga..". Goda pria itu pada Yoshinori Akihiko.
"Ah, kau ini...". Pria yang biasa dipanggil Hiko itu terkekeh. "Berhentilah menggodaku seperti itu, Izanagi". Pria yang ia panggil Izanagi tertawa dengan biadabnya. Hiko adalah pria dingin dan cuek. Tapi saat sedang jatuh cinta ia terlihat seperti pria manis yang selalu tersenyum.

"Ah, ya...". Izanagi mendekatkan jaraknya pada Hiko. "..kau sudah pernah mengungkap belum? Hmm...". Pria itu menaik-turunkan alisnya. Hiko merasa sial melihat senyum menyebalkan itu. Hiko menghentikan permainan gitarnya lalu dengan kasar mengusap wajah Izanagi membuat pria itu meringis.
"Isshh.. kau ini! ". Umpat Izanagi.
"Siapa suruh.. aku kan sudah bilang berhenti menggodaku seperti itu." ucap Hiko.

"Yayaya.. baiklah. Sekarang aku tanya dengan serius. Apa kau sudah pernah mengungkap pada gadis itu, hah?". Tanya Izanagi tampak serius.
Hiko kembali memetik gitarnya lalu menjawab dengan cuek, "belum".
"Lalu kapan?"
"T–"

"Tunggu waktu yang tepat". Tukas Izanagi.
"Sampai kapan, Hiko? Sampai gadis itu resmi menjadi kekasih orang?". Hiko hanya diam, semakin lama Izanagi jadi cerewet seperti Michiko. Hanya membuatnya stress saja.
"Kalau Naomi berpacaran lalu kenapa? Memang selalu begitu kan setiap kali aku akan menembaknya?"
"Yah setidaknya Hiko..."

"Setidaknya ap–"
"Apa lagi ini? Memperdebatkan masalah apa lagi sekarang?".
Seorang gadis tiba-tiba datang memecahkan ketegangan mereka berdua. Natsumi Michiko, sahabat Hiko dan Izanagi. Dia langsung bisa menebak karna tak jarang kedua sahabatnya itu berdebat karena beda arah pemikiran. Ditambah Izanagi yang seenaknya dan Hiko yang keras, bertemu menjadi sebuah bencana.

"Kenapa sekarang diam?". Michiko melipat tangannya didepan dada.
"Apa maksudmu? Jika kami berdebat kau mengomel. Kami diam juga mengomel. Perempuan memang sulit". Izanagi menggelengkan kepalanya -sok- dramatis.
Mulut Michiko sedikit terbuka.
"Apa kau bilang?! Perempuan sulit? Heh! Dengar ya, laki-laki yang seenaknya. Mereka bisa mendekati dan menghindari perempuan kapanpun mereka mau. Laki-lakilah yang bersalah!". Cetus Michiko.

Izanagi dan Hiko saling memandang
"Yah.. terserah kau sajalah..". Ucap mereka bersamaan.

Dari sini bisa ia lihat dengan jelas bagaimana Hiko dan Izanagi saling melempar basket sambil tertawa renyah. Gadis itu tersenyum karena bisa melihat tawa Hiko. Ini sungguh seperti melihat surga dunia. Tak ada yang bisa membuatnya seperti ini selain Hiko... walau secara tidak langsung.

"Hei, bisakah kau minggir?" . Gadis itu tersentak lalu pandangannya segera merambat keatas.
"Ah..". Gadis itu seperti mendadak bisu. Lidahnya kelu sehingga tak bisa mengucapan sepatah kata pun.
Pria itu, Hiko, menautkan alisnya.

"Kau tidak punya masalah pendengaran, kan?". Tanyanya ragu.
Gadis itu tersenyum kaku.
"Tentu tidak. Aku hanya... hmm.. ah ya! Silahkan masuk". Gadis itu sedikit meminggirkan badannya dan pria itu langsung masuk. Gadis itu mengepalkan tangannya dan tertawa tanpa suara. Ini nyata, kan? Batinnya menjerit.

"Hei, namamu Natsuko Aimi, bukan?". Pertanyaan itu mengejutkan gadis itu. Tubuhnya memutar lalu matanya langsung menangkap Hiko dibangkunya.
"Ya. Itu namaku." jawabnya pelan. Hiko mengangguk lalu tersenyum. Aimi tidak tahan lagi. Dia langsung meniggalkan kelas sembari memegang tengkuknya yang sakit. Menatap Hiko seperti tadi sungguh melelahkan.
Hiko yang terlalu tinggi atau dia yang terlalu pendek, sih?

Life Trip HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang