Same

20 6 0
                                    

"Bang! Jalan, yuk!" Gue menggoyangkan lengan Bang Kai yang lagi tiduran di kamarnya.

"Males gue." Jawabnya sambil melepaskan tangan gue yang masih memegang lengannya.

"Ayolah, bang!" Rengek gue sekali lagi.

"Sama Bang Kris aja sana! Nanti kalau sama gue terus ada anak yang lihat malah berabe." Dia mendorong tubuh gue agar segera keluar dari kamarnya.

"Paling mereka ngira kita pacaran!" Kata gue lalu keluar dari kamar Bang Kai.

Baru aja gue mau pergi cari Bang Kris, ternyata orangnya lagi teleponan di ruang tamu. Nggak panas apa ya kupingnya daritadi teleponan mulu.

Raut wajah Bang Kris menunjukkan kegelisahan. Dia kelihatan resah saat berbicara dengan orang di seberang yang sedang bertelepon dengannya. Gue berdiri dengan jarak yang cukup jauh dari Bang Kris. Setelah dia meletakkan ponselnya di meja, baru gue berjalan menghampirinya.

"Bang! Jalan-jalan, yuk!"

"Ha?" Dia kelihatan kayak orang kebingungan sekarang.

"Jalan-jalan, yuk!" Ulang gue.

Bang Kris memijit pelipisnya sejenak sebelum menjawab.

"Maaf ya, dek. Abang nggak bisa. Kamu ajak Bang Kai aja, ya."

"Kenapa?" Tanya gue penasaran.

"Teman abang lagi dirawat di rumah sakit. Jadi sekarang abang harus nemenin dia." Jelasnya.

"Emang nggak ada keluarganya?" Gue semakin penasaran setelah mendengar jawaban dari Bang Kris.

"Ng... nggak ada!" Jawabnya ragu.

Alis gue saling bertaut saat berusaha mencerna perkataan Bang Kris. Nggak biasanya Bang Kris jawab pertanyaan sepele kayak gini dengan ragu.

"Dia itu di sini merantau. Keluarga ataupun saudaranya nggak ada yang di sini. Kasihan kan kalau sendirian."

Penjelasan tambahan itu membuat gue semakin curiga dengan siapa teman yang Bang Kris maksud.

"Abang nginep?"

"Belum tahu. Lihat nanti aja gimana. Ya udah abang pergi dulu, ya." Pamit Bang Kris.

Gue cuma bisa menganggukkan kepala dan membiarkan Bang Kris berlalu pergi. Gue nggak terlalu pengen ikut campur sama urusan Bang Kris. Dia lebih dewasa dari gue, jadi dia pasti udah tahu apa yang baik dan buruk buat dirinya sendiri.

Karena hari masih sore, gue berniat untuk berkeliling di sekitar komplek. Mungkin taman yang kemarin sempet gue datengin bisa jadi tempat yang asyik untuk sekedar menghabiskan waktu sore.

Meskipun matahari hampir tenggelam, tetapi masih banyak orang seliweran di sini. Ya, taman memang cocok dijadikan tempat untuk melepas penat setelah seharian beraktivitas.

Gue duduk di dekat kolam buatan yang cukup menarik. Kolam dengan diameter sekitar lima meter ini dikelilingi oleh lampu yang menyala warna-warni. Selain itu, bunga mawar yang masih bermekaran menguarkan semerbak yang menyegarkan.

Seorang wanita sibuk menekuri ponselnya lewat di depan gue.

"Fika?" Panggil gue memastikan.

"Hai, Re!" Sapanya balik setelah sempat kebingungan karena ada orang yang tiba-tiba menyapanya.

Fika berjalan mendekat dan ikut duduk di samping gue, "Lo kok di sini?" Tanyanya.

"Bosen gue di rumah."

"Kok lo nggak pernah bilang kalau rumah lo di sekitar sini?"

"Lo nggak pernah nanya." Fika mencebikkan bibir mendengar penuturan gue.

"Lo ngapain di sini?" Tanya gue. Setahu gue rumah Fika bukan di sini.

"Gue tadi abis dari rumah Kak Lay." Jawabnya yang bikin gue kaget bukan main.

"Emang rumah Kak Lay di sini?"

"Ya bukanlah! Ini taman Rere!" Gue noyor kepala Fika geregetan.

"Maksud gue rumah dia di sekitar sini?" Tanya gue sekali lagi bermaksud memperjelas.

"Iya. Dari sini belok kanan, lurus terus, rumah paling ujung yang pagernya warna hitam itu punya Kak Lay."

Udah hampir dua tahun gue tinggal di sini, tapi gue baru aja tahu kalau ternyata rumah Kak Lay satu komplek sama gue. Gue akui kalau gue kurang berbaur sama warga sekitar. Beda sama Bang Kai yang dari awal dateng langsung akrab sama anak-anak di sini.

"Ngapain di sana?" Tanya gue makin kepo.

"Ngurus persiapan buat lomba." Gue hanya ber'oh' ria.

"Udah selesai?"

Fika menggelengkan kepalanya, "Saudaranya Kak Lay ada yang sakit, jadi dia pergi ke rumah sakit."

Kok samaan kaya Bang Kris, ya? Bisa kebetulan gini.

"Siapa yang sakit?" Jangan-jangan saudara Kak Lay temennya Bang Kris.

"Mana gue tahu." Katanya mengangkat bahu.

"Dah, ah! Gue mau balik. Udah sore ini. Lo pulang sana! Hati-hati nanti kesambet di sini sendirian!" Katanya sambil menepuk kepala gue.

"Doanya jelek amat." Kata gue setelah mencebik pelan. Sedangkan Fika hanya tertawa kemudian berlalu pergi.

Gue melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiri gue. Setengah enam. Gue buru-buru pergi meninggalkan tempat nyaman ini. Dalam hati gue berjanji kalau besok akan mengunjungi tempat ini lagi.

Saat sampai di pintu gerbang, Bang Kai keluar rumah dengan pakaian yang udah rapi.

"Mau kemana, bang?"

"Eh? Udah pulang? Bang Kris nya mana?"

"Bang Kris pergi ketemu temennya. Lo mau kemana?" Tanya gue sekali lagi.

"Mau jemput Tante Irene."

"Ikut dong!" Kata gue antusias. Gue menghampiri Bang Kai yang udah mau masuk mobil.

"Terus yang jaga rumah siapa?"

"Biasanya juga kosong."

"Nggak! Lo jaga rumah aja!" Tolak Bang Kai.

"Loh, masa gitu." Protes gue.

"Iyalah, nanti kalau ada maling gimana?"

"Terus nanti kalau gue diculik gimana?" Tanya gue balik.

"Nggak bakal. Penculik nggak doyan sama lo!" Ejeknya.

"Bangke!" Teriak gue sambil melempar sandal yang gue pakai. Sayangnya lemparan itu meleset karena Bang Kai bisa menghindar dengan gesit. Kemudian dia masuk mobil dan melajukannya meninggalkan gue sendirian.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Vomentnya guys><

Lika - LikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang