Di rumah sendirian itu rasanya nggak enak banget. Apalagi gue yang pada dasarnya emang penakut. Dari tadi gue cuma duduk atau nggak baringan di sofa ruang tamu. Televisi gue puter dengan volume yang cukup keras, biar kalau ada suara yang aneh-aneh nggak sampe kedengeran sampai kuping gue.
Hari semakin larut. Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan, tapi sampai sekarang mereka belum pulang juga. Gue akhirnya memutuskan untuk menelepon Tante Irene. Baru terdengar dua kali nada sambung, panggilan gue udah diangkat.
"Tante masih lama pulangnya?"
"Tante malam ini nggak pulang, sayang."
"Lah! Bang Kai juga ikut nginep di butik?"
"Kai udah balik daritadi kok. Tadi nyampe sini langsung balik dia karena gue nggak pulang."
"Tapi dia belum sampe rumah, Tante!"
"Coba deh telpon si Kai. Tanyain dia dimana!"
"Yaudah, deh. Tante Irene hati-hati disana."
"Iya. Tidur kamu, udah malem!"
"Hmm."
Bang Kai benar-benar bikin emosi, ya! Udah tahu adiknya ini penakut, masih aja ditinggal sendirian. Pamitnya sih mau jemput Tante Irene, tapi ujung-ujungnya malah main nggak jelas.
To: Bangke
Bang! Lo dimana sih?! Buruan pulang!!!!
Selang dua menit kemudian gue kembali mengirim pesan ke Bang Kai karena pesan gue yang sebelumnya dia abaikan.
To: Bangke
Lo pulang sekarang!
Sekali lagi masih belum ada balasan darinya.
To: Bangke
Kalau nggak pulang sekarang mending nggak usah pulang sekalian!!!
Gue membanting ponsel di lantai. Bodo amat mau pecah atau gimana. Gue nggak pikirin itu sekarang.
Detik demi detik berlalu. Gue masih terjaga meskipun udah berusaha untuk tidur. Perasaan takut semakin menghantui saat teringat waktu semakin malam.
Tiba-tiba terdengar suara pintu depan di ketuk dengan agak keras. Gue tadi udah kunci semua pintu untuk mengantisipasi segala kejadian buruk yang mungkin terjadi.
Gue melangkahkan kaki perlahan menuju pintu. Kedua tangan gue memegang pentungan yang bisa gue jadikan sebagai alat pertahanan diri.
Huufftt!!
Gue menghela nafas kasar untuk menetralkan detak jantung yang sedari tadi berpacu dengan cepat. Setelah merasa agak tenang, gue memasukkan kunci yang gue genggam di lubang kunci.
Klek!
"Yaaaaaaa!!!" Gue mengayunkan pentungan yang gue pegang ke arah orang yang mengetuk pintu.
"Ini gue! Ini gue! Ini gue!" Ayunan itupun terhenti saat gue tahu ternyata itu Bang Kai.
"Gila lo, dek! Abang sendiri mau digebukin!" Katanya sambil mengusap dada.
"Masih inget rumah lo?!" Tanya gue sarkas.
"Ya masih lah! Otak gue kan punya memori yang bagus, jadi nggak mungkin lupa sama rumah sendiri." Jawabnya mencoba melucu.
"Nggak lucu!" Kata gue ketus kemudian berjalan masuk kamar.
***
"Hooaaamm!" Pagi ini gue udah berkali-kali nguap.
Meskipun gue udah mandi dari pagi, tapi rasa kantuk yang menyerang nggak juga hilang. Gue udah siap berangkat sekolah daritadi. Tinggal sarapan terus berangkat.
Gue keluar kamar dan langsung menuju ruang makan. Dalam hati gue berharap semoga Bang Kai udah berangkat.
Dan sepertinya harapan itu terwujud. Karena gue cuma lihat Bang Kris dengan pakaian yang masih sama kaya semalem lagi duduk minum kopi sendirian. Gue rasa dia baru aja balik dari rumah sakit.
"Belum berangkat?" Tanyanya saat gue menarik kursi kosong di hadapannya.
"Belum." Gue mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai kacang.
"Lo baru balik?"
"Iya." Jawab Bang Kris sesaat setelah menyeruput kopi panasnya.
"Rere! Lo gue tungguin daritadi malah masih santai di sini!" Bang Kai tiba-tiba datang dan berdiri di samping gue.
Gue nggak peduliin apa yang kata-kata Bang Kai. Gue masih kesal banget sama dia yang tega ninggalin gue sendirian di rumah.
"Ayo buruan berangkat! Udah hampir telat ini gue."
Gue masih aja diemin dia dan tetap fokus sama makanan yang gue pegang.
"Lo dengerin gue nggak, sih?!" Tanya dia. Kayaknya Bang Kai udah mulai marah.
"Rere!" Panggil Bang Kai dengan nada suara yang mulai meninggi.
"Apa?" Jawab gue datar.
"Lo nggak sopan banget, sih! Gue itu abang lo!"
"Oh! Baru tahu kalau ternyata lo nganggep gue adek." Gue sengaja ngomong gitu biar dia sadar terus minta maaf.
"Maksud lo apa, sih?!" Bang Kai kembali merendahkan nada suaranya.
"Ya lo pikir aja sendiri!" Jawab gue ketus.
"Ooo... lo marah gara-gara gue tinggal main semalem? Lo tuh kayak anak kecil tahu nggak?! Gitu aja marah!"
"Lo udah salah bukannya minta maaf malah bikin gue tambah kesel!"
"Ngapain gue minta maaf kalau gue nggak salah." Oh! Jadi dia belum sadar.
"Nggak salah lo bilang?! Lo udah tahu kalau gue itu penakut, tapi masih aja lo tinggalin sendirian sampe hampir tengah malem!"
"UDAH!!" Teriakan Bang Kris membuat kita berdua dia. Menunduk takut. Dari tadi gue nggak sadar kalau di sini masih ada Bang Kris.
"Kalian berdua kalau mau berantem di luar aja! Gue ambilin golok sekalian biar kalian bisa bacok-bacokan!"
Waduh! Kok jadi Bang Kris yang ngamuk.
"Kalian itu udah dewasa! Jangan cuma badan aja yang gede, otak lo berdua di gedein juga!"
Nggak biasanya Bang Kris omongannya nyelekit kayak gitu. Dia pasti lagi ada masalah.
"Kalau ada masalah diomongin baik-baik. Jangan cuma bisanya adu mulut, marah-marah, salah-salahan. Kalian pikir yang punya masalah cuma kalian? Gue pusing tiap hari dengerin kalian berdua ribut mulu! Pengen meledak rasanya ini kepala."
Bang Kris langsung pergi masuk ke kamarnya setelah ngomong panjang lebar. Dia menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras.
Sedangkan gue dan Bang Kai masih diam mematung di ruang makan.
"Itu tadi beneran Bang Kris?" Tanya Bang Kai masih nggak percaya kalau seorang Bang Kris bisa marah-marah kayak gitu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Vomentnya guys><
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika - Liku
FanfictionDamai. Satu kata itu dapat mewakili perasaan gue saat ini. Menurut gue, pantai adalah tempat yang paling nyaman untuk mengeluarkan segala keluh kesah yang ada dalam hidup. Gue berdiri di tepi pantai sambil merentangkan kedua tangan. Menikmati sepoi...