Chapter 15

2.1K 223 169
                                    

Setelah meluapkan emosi dengan kabur dari acara mitoni, sekarang aku merasa bersalah melihat istri sedih di dalam pelukanku dan satu hal yang masih sulit aku kontrol adalah egoku sendiri. Aku marah atas sikap Papa Dirjo tapi aku justru melibatkan banyak perasaan orang, terutama Mama. Gak bisa aja membayangkan wajah Mama yang kebingungan jadi nyinyiran orang disana. Apalagi Irene, dia kan sensitif, gak bisa jauh-jauh dari aku semenjak hamil.

"Beneran kamu udah makan?" aku tanya Irene lagi disaat kita masuk ke dalam rumah.

Irene angguk-angguk kecil sambil elap air matanya pakai punggung tangan.

"Udah lega ya acara dedek bayi kita selesai," kuusap-usap punggungnya sementara aku kecup puncak kepala dia.

"Iyah lega, tapi tinggal mikir gimana lahirannya. Ini kalau sakit banget terus aku gak tahan gimana?"

Aku senyumin aja, memang si mau sampai jaman ular bentuknya jadi segitiga juga laki-laki gak akan pernah tahu rasanya melahirkan kaya apa. Tapi setidaknya aku bisa kasih dukungan dan doa di samping dia nanti, semoga aja aku sanggup dan gak pingsan.

"Koq Mas Sehun bau minuman, eh bener ini bau minuman kan?" Irene endus-endus bajuku memastikan.

"Minum dikit sama Baekhi," aku jujur aja jawabnya, mau bohong juga nanti malah jadi banyak pertanyaan. Beruntung aja Irene gak bahas kenapa aku pergi begitu aja dari rumahnya. Kayaknya dia memang gak tahu kalau aku lagi emosi ke Papa Dirjo gara-gara buang sampah. Receh banget si sebenernya.

"Kenapa minum, kan gak baik. Ini dedek bayinya pantes aja grusel-grusel dari tadi. Kan katanya walaupun masih di dalam perut, naluri bayi itu tahu kalau Papa atau Mamanya lagi ada yang gak beres."

"Eh iya si, masa?" aku kaget terus pasang ekspresi kecewa.

"Iya looh," Irene natap aku pasti. "Kan kamu, aku, sama dedek ini punya ikatan batin yang kuat."

Seketika aku menyesal, aku elusin perut Irene sambil ngajak komunikasi si dedek di dalem perut. Aku bilang aku minta maaf dan aku berharap si dedek gak akan kecewa sama aku.

"Percaya ya dek sama Papa, gini-gini Papa kamu baik lho. Papa orangnya setia, jujur, mana Papa kan cakep. Ini besok kalau kamu keluarnya jadi cakep juga, jangan lupa ucapin makasih sama Papa, itu Papa turunin kecakepan Papa ke kamu gratisan lho gak oake ongkos kirim. Hidup orang cakep juga kan bebas dek, kamu kudu bangga..."

"Maaf juga dek, Papa kamu itu narsisnya tingkat dewa...nirunya yang baik-baik aja yah, gak usah gubris juga sikap tengilnya dia," Irene nambahin yang bikin aku ketawa.

"Koq tengil si?" aku protes.

"Gak nyadar ya?? Tuh ada kaca gedhe di kamar, kan aku juga hasil dari korban ketengilan kamu Mas."

"Tapi seneng kan, tapi enak kan, tapi sayang kan?" aku sentil-sentil ujung hidung Irene sampai dia senyum-senyum malu.

"Iyah enak, kalau gak enak mana aku doyan."

"Pinter nih istri aku sekarang," sekarang giliran aku pencet hidungnya. "Mantep ya kan yank?"

Irene pasang ekspresi datar," apanya yang mantep?"

"Tuh," aku tunjuk bagian depan celana aku. Otomatis mata Irene mengikuti kemana arah jari aku.

"Ah gak tahu deh, aku polos, aku gak lihat, aku lelah...,"  Irene geleng-geleng kepala sambil ngeloyor masuk ke kamar lebih dulu. Dia mulai males kalau aku ajak ngobrol yang menjurus gitu.

"Halah...sok gak doyan, ini kan permen pentol ajaib, gak akan habis-habis kalau diisep," aku ngedumel.

Ceritanya aku masih dalam suasana pasca emosi, jadi sebisa mungkin malam ini aku gak banyak bertingkah. Kita berdua tiduran di kasur tapi aku cuma liatin muka Irene yang matanya udah pada tahap mengantuk berat. Sesekali aja aku kecup bibirnya, pipinya dan juga keningnya. Jadi suami itu kan memang harus obral sayang ke istri biar makin dicinta. Ciehh preeet!

Diam Tanpa Kata (Hunrene)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang