Chapter 26.

2.1K 220 151
                                    

Kamasehun Pov

Mencium aroma wangi dari tubuh Rene itu merupakan sesuatu yang langka buat aku setahun belakangan ini. Dan saking bahagianya aku malah jadi cowo cengeng yang sebentar-sebentar nangis. Nangisnya itu saking terharu, saking bahagia, saking terkejut dan nggak nyangka istri yang selama ini aku kangenin rela datang ke Bandung, menemui cowo nggak tahu diri macam aku. Masa aku kudu ketawa ngakak, kan nggak lucu.

Sayang dipertemuan kita sekarang, Tuhan justru  memberiku rasa sakit. Dia sedang mengingatkanku untuk tidak melupakan waktu beristirahat, menyadarkanku kalau sekuat apapun aku bekerja keras, aku bukanlah robot yang mesinnya bisa di upgrade kapan aja.

"Mas, kamu belum makan lho, aku keluar sebentar  cari makan ya?" Rene tersenyum tipis selesai kita berciuman.

"Ke cafeku aja yuk, cobain makanan disana."

"Nggak ah kamu lagi sakit, kapan-kapan aja."

"Udah nggak papa, kan deket inih. Tapi kesananya naik motor mau nggak? Aku soalnya udah nggak punya mobil," aku beranjak dari kasur dan meraih kunci motor vespa kuningku yang ada di atas meja.

Cuma motor itu yang bisa aku pakai kemana-mana, bahkan ke pasar buat belanja sayuran dan segala keperluan cafe. Sebenernya nggak tega banget  ngajakin Rene naik motor begitu, tapi dari pada cari gojek nanti Rene diboncengin cowo lain terus aku cemburu, kan akunya nanti bisa tambah sakit.

"Jangan ngebut Mas, ih dibilang jangan ngebut!" satu tangan Rene melingkar erat di pinggangku dan itu mengingatkanku akan masa-masa dimana pertama kali aku ajak dia kondangan ke pernikahan Kai dan Klee. Waktu itu Rene masih membisu dan nggak komplen saat aku ajak sengebut apapun. Tapi sekarang aku meleng sedikit aja dia cubit-cubit pinggangku panik, pokoknya kudu pelan-pelan motoran sama dia, prince yang berasa bawa princess.

Sampai di cafe aku kenalin Rene ke seluruh karyawanku yang jumlahnya ada 8, karena yang 8 lagi kan kena jatah shift siang. Baru punya karyawan segitu aja aku sering pusing pas giliran tanggal mereka gajian. Kalau Baekhie atau Kai sekarang sering panggil aku dengan sebutan Bos, aku rasa sih aku belum setara dengan posisi itu. Ya kali bos kan make mobilnya mewah, tinggalnya di rumah segede istana, nah ini bawa istri aja ngevespa, ngenes.

"Kamu mau makan apa, tinggal pilih aja atau mau aku yang buatin? Sini duduk yank," aku ajak Rene makan di meja paling pojok biar suasananya sepi dan kita bisa ngobrol intens.

Rene cuma milih roti bakar keju sama es coklat sementara aku mengikuti apa yang dia makan. Kalau lagi sakit begini mau makan pizza bertopping berlian sekalipun rasanya juga nggak akan enak. Itu pun sebenernya aku malas makan walaupun perut keroncongan.

"Dingin ya naik motor?" udara di Bandung memang dingin nggak kaya di Jakarta yang panas cetar. Apalagi Rene sekarang  cuma pakai dress tipis yang menurutku sedikit minim.

"Naik becak aja kalau kamu yang genjot, aku nggak masalah koq Mas."

Jahat banget jawabnya, coba deh aku tanya ke kalian apa ada orang seganteng  aku jadi tukang becak? Bukannya aku merendahkan profesi itu, tapi aku sendiri yang bayangin jadi tukang becak koq rasanya pengen nangis ya?

"Dapet ide darimana Mas usaha beginian? Kamu kan masih bisa kerja di Jakarta, nggak perlu lari dari aku dan kita bisa hidup bersama kayak dulu lagi."

Aku nggak bisa jawab dan cuma nunduk mainin sendok di atas roti bakarku yang sisa separuh. Untuk kerja lagi di Jakarta mungkin aku masih bisa tapi untuk terus menerus dikucilkan oleh Papa mertua, aku nggak sanggup lagi. Aku bukan orang setegar Mama atau Tiffany yang cuek diomongin apa aja sama orang-orang. Mungkin dari luar aku type orang yang ceria, banyak ngomong, tapi di dalam hati aku sebenernya orang yang perasaan dan pemikir banget.

Diam Tanpa Kata (Hunrene)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang