Chapter 5.

2.4K 289 55
                                    

Siang itu selepas aku memeluk Irene, kemarahan yang sudah ia rasakan luntur sudah. Jelassss, jutaan cewe rela bayar mahal cuma buat dipeluk aku, tapi Irene dapet gratisan dan aku gak minta bayaran. Baik kan?

Tapi dia masih belum mau cerita apa-apa, ya udah pelan-pelan kan aku bisa bikin dia jadi terbuka. Paling gak, dia udah mulai percaya sama aku dan kita jadi lebih dekat kaya sahabat. Padahal si dalam hati aku maunya lebih dari itu, kan dianya cantik dan typeku banget. Sederhana dan gak macem-macem adalah hal yang paling aku suka dari dia.

"Liburan gini enaknya ngapain ya?" aku coba mencairkan suasana selagi kita masih duduk berhadapan. "Dingin yah hawanya, hujan terus."

Irene ngangguk.

"Minum susu anget kayanya enak nih, gurih," selesai ngomong lidahku langsung jilat sudut bibir. "Eh gak jadi ah, air putih aja," koreksiku setelah lihat ekspresi Irene yang kayaknya salah arti. "Gak usah aja si, gak haus juga," malah akunya celingusan.

Maksud aku kan susu kental manis gitu, kenapa suasana aku sama Irene jadi canggung gini ya? Salahnya ngomong susu dimana si, kalau yang ada di dada cewe itu kan payudara. Eh tapi iya yah isinya air susu juga.

"Om sama Tante dimana?" Irene tanya tapi cuma bibirnya aja yang gerak, suaranya kaya kentut gak bunyi lewat.

"Kencan lah, mereka kan pasangan romantis," jawabku santai. "Teppi juga pergi sama ayank bebebnya. Terus kita...gimana?"

Kebiasaan Irene kalau aku goda langsung aja lengan aku dicubit, sakit tapi seneng.

"Kan tempat sama suasana udah mendukung, momen langka ini kita dibiarin berdua di kamar, udah adep-adepan juga di kasur. Tinggal oh yess oh no aja si," desahanku bikin Irene tutup telinga geli. Dia cubit aku lagi disana-sini.

"Mesum!" cuma bibirnya lagi yang gerak begitu.

Maklum akibat kalau aku kebanyakan nongkrong sama temen-temen dan aku jadi ketularan gak waras kaya mereka. Udah begitu objeknya ada di depan mata, lanjut aja biar palli.

"Terus enaknya kita ngapain Ren, kamu pengen pergi kemana gitu biar aku yang anter? Gak ke pasar lho ya, males banget nanti bakul sayuran suka towel-towel dagu aku genit gitu."

Irene ketawa nutup mulutnya. Dikira aku bercanda mungkin, padahal sering tuh Mama minta aku anterin belanja ke pasar terus aku kaya jadi ajang colek sana-sini. Orang-orang udah tahu aku ganteng ya udah ya gak usah dipegang-pegang juga, kan risih jadinya. Bukan artis aja udah digituin, apa kabar kalau aku jadi artis, pulangnya bisa sampai telanjang kali. Ih serem.

"Main catur aja yuk?" ajakanku langsung ditolak dengan gelengan kepala, alasannya simpel katanya Irene gak bisa. Lagian main catur kan harus mikir juga, males banget.

Irene ambil Hpnya dan nunjuk permainan gak tahu apa namanya yang intinya tuh kita harus cepet nampolin lalat yang menclok di layar.  Otomatis kening aku mengekerut, plis itu game nya anak SD. Masa cowo sekeren aku ini diajak main begituan, masih mending game yang sodok sodokan aja. Kan enak.

"Gak deh, kan aku udah bukan anak ayam lagi, gak level mainan begitu," aku nyinyirin Hp Irene. "Kamu tuh kaya anak kecil, manja."

"Ih sorry enggak," Irene merengut, mendinglah suaranya udah mulai keluar walaupun masih lirih banget. "Aku gak manja koq."

"Ini buktinya apa," aku nunjuk wallpaper Hpnya yang gambar kartun Hello Kitty terus sama casingnya yang ada bulu-bulu ayamnya warna pink. "Sepupuku yang SD juga makenya beginian."

"Kan suka-suka aku," Irene membela diri dan gak sadar suaranya memprotes keras. Bagus.

"Tetep aja kaya anak manja," aku julurin lidah ke dia.

Diam Tanpa Kata (Hunrene)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang