Disini ia berdiri dengan kaki yang ia paksa untuk menopang tubuh lunglainya, menatap pintu bisu ditengah keramaian. Pemandangan dibalik pintu itu berjalan begitu cepat hingga matanya tak bisa menangkap satu pun dari mereka.
Tangan pucatnya mengenggam kartu yang bisa membawanya ke tempat mana pun ia mau, sayangnya kecuali tempat dimana ia dapat menikmati waktu berharga yang pernah ia lakukan bersama keluarganya yang dulu. Semua itu, dulu.Shinkansen membawanya pergi dan Osaka telah menunggu kedatangannya. Kereta ini melaju membelah kabut tebal, hujan lebat tak menjadi halangannya. Hingga saat ia mulai memelankan lajunya, dan pengeras suara menggemakan info bahwa terjadi longsoran tanah di jalur yang akan dilalui Shinkansen.
Orang-orang didalamnya mulai panik, mereka semua mulai fokus dengan ponselnya, mengabari keluarga mereka atau pun sebaliknya. Jepang negara yang maju, pasti kabar tentang tanah longsor itu sudah tampil di berita-berita sehingga keluarga para penumpang mulai ikut khawatir.
Tapi Kenny? Ponselnya tidak bergetar maupun berbunyi sama sekali, memang itu pantas-pantas saja. Ia tidak memberitahu Ibunya bahwa ia akan ke Jepang hari ini, jadi bukan salah keluarganya bila tidak ada yang mengkhawatirkan Kenny setelah tahu berita-berita itu.
Ia terus berdoa agar kereta ini cepat berhenti sebelum daerah longsoran itu, hatinya memang sedang hancur tapi ia tidak mau mati sekarang!
Bahkan untuk menghubungi keluarganya saja ia tak sanggup, ia tidak mau mereka khawatir. Ia benci membuat orang mengkhawatirkannya karena ia tahu rasanya khawatir itu seperti apa. Meskipun ada orang lain yang sangat mengkhawatirkannya tanpa ia tahu.
Ponsel Kenny pada akhirnya berdering, segera ia mengambilnya dari saku celana skinny jeans hitamnya.
Nomor tidak dikenal
Alisnya mengerut, tapi ini bukan waktunya untuk bertanya-tanya siapa pemilik nomor ini. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkat teleponnya.
"Halo?" suaranya bergetar, ia benar-benar cemas seiring kereta mulai mendekati daerah longsoran itu.
"Jangan khawatir." suara bariton diseberang sana menghangatkan hatinya, ia tahu, ia benar-benar tahu siapa tuan pemilik suara ini. Pandangannya kesana kemari mencoba mencari apakah ada orang yang ia maksud atau tidak.
Kemungkinan besar orang itu pasti disekitar sini dan melihatnya. Tapi ia belum berhasil menemukannya.
"Aku sedang tidak ingin bercanda. Kau siapa?"
"Johnny, dan aku sedang tidak bercanda."
Mata Kenny membesar lalu ia segera mencari-cari keberadaan Johnny.
"Tiga meter dibelakangmu." lelaki itu tersenyum dibalik masker hitamnya.
Johnny menghitung mundur dan tepat dihitungan 1, Kenny menemukannya.
Kenny's POV
Firasatku benar, suara itu, hanya ia yang memiliki. Tapi aku masih ragu, apakah lelaki yang berdiri didepan sana adalah Johnny?
Terakhir kali aku melihatnya, rambutnya cokelat terang dan memiliki poni samping. Sedangkan, lelaki itu memiliki rambut cokelat gelap dan poni yang membelah dibagian tengahnya.
Inginku menghampirinya, tapi aku sangat takut bergerak.
Langkah kaki Johnny mulai mendekati Kenny, tangan kirinya meraih pinggang gadis itu dan menarik bahunya mendekat.
Kenny tersentak dan air matanya turun seketika. Ia langsung membalas pelukan Johnny, hangat dan menenangkan. Semakin erat.
Pelukan mereka melonggar, kereta mulai berhenti.
"Syukurlah." ujar Kenny lega.
Dari jarak dekat seperti ini, lensa mata Johnny nampak sangat indah. Cokelat terang dan penuh keteduhan. Ia telah menemukan oase, dan itu ada pada kedua mata Johnny.
Johnny mempersempit jarak mereka berdua, semakin dekat hingga bibirnya berhasil mendarat tepat diatas bibir Kenny.
Meski terhalang masker.
Mata Kenny kembali terbelalak, bukan apa-apa, ini tempat umum!
Segera tangannya mendorong dada Johnny agar menjauh, Johnny tampak terkejut dengan sikap gadis itu.
"Jo-" pembicaraannya terpotong.
"Youngho!" tukas Johnny penuh penekanan, matanya mengisyaratkan bahwa banyak orang disekitarnya, ia tidak ingin identitasnya terbongkar di tempat umum seperti ini. Percuma saja ia menyamar sedemikian, jika namanya tidak disamarkan juga. Ya meskipun hanya dengan nama Korea-nya. Seo Youngho.
"Kau gila ya?" Kenny mencubit perut Johnny berkali-kali dan lelaki itu hanya bisa menghindar dan tertawa geli.
•••
Osaka tersenyum lega setelah menerima kedatangan gadis malang itu, sudah lama ia tak bertemu dengan gadis itu.
Dulu Osaka mengenalnya sebagai seorang gadis kecil dengan rambut pendek dan topi pink yang tak pernah lepas dari kepalanya setiap ia berjalan di sore hari di sekitar Hinode Minami bersama kedua orangtuanya dan adik perempuan yang tertidur pulas didalam stroller. Kini gadis topi itu telah tumbuh dewasa dengan baik.
^Hinode Minami Park
Setelah ada kereta pengganti (di jalur yang lebih aman), akhirnya Kenny dan Johnny tiba di Stasiun Shin, Osaka. Genggaman tangan Johnny tidak pernah lepas, sekali lagi ia tidak mau kehilangan Kenny.
Mereka berdua kini berjalan di trotoar menuju kediaman Kakek Kenny, tidak jauh dari Stasiun Shin-Osaka, hanya menempuh waktu 5 menit saja dengan jalan kaki.
"Apa wajahku semenarik itu?" ucapan Johnny menyadarkan Kenny yang dari tadi memandangi wajahnya.
Gadis itu kembali menatap jalanan cepat-cepat, "Siapa bilang? Aku hanya... Hanya... Kenapa kau tinggi sekali?"
Johnny terkekeh pelan, "Aku hanya tumbuh sebagaimana semestinya, memangnya kau? Pendek."
Satu kata yang menyakitkan.
"Yak!" ia memukul lengan Johnny, "Ngomong-ngomong kenapa kau ada di Osaka?"
"Kau pikir?"
"Aku sedang tidak bisa berpikir." ia mencebik.
"Tentu saja untuk mencarimu, bodoh."
"Darimana kau tahu aku ada disini?"
"Nanti kau tahu. Sudah dekat kah rumah Kakekmu?"
"Itu empat rumah lagi kita sampai, ayo lari!" Kenny menarik tangan Johnny dan mereka berlari, ia sudah tidak sabar untuk sampai dirumah dan menghangatkan diri didepan perapian. Area favorit di rumah Kakek ketika musim dingin tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuddle Weather [Johnny Seo]
FanfictionEverytime I see you, It's raining. Everytime it's raining, I fallin' in love with you so deeply. So deeply until I didn't notice that time. -Kenny Johnny Seo as himself Lee Haeun as Kenny Story in Bahasa Indonesia