#3: Rival

297 58 6
                                        

In Hyerin's Eyes...

Pemuda ini mengikutiku lagi. Untuk kesekian kalinya dalam minggu ini. Kenapa dia selalu mengikutiku dan selalu menuntut jawaban dari pertanyaan yang sama? Kenapa dia sangat ingin tahu?

Aku menghentikan langkahku. Kudengar suara langkah cepat mendekatiku. Ia pasti akan menunjukkan senyumnya padaku, berpikir bahwa senyum itu bisa membuatku luluh dan bicara padanya.

Padahal nyatanya dia hanya akan mendapatkan pertanyaan yang sama dariku, dan menjawab dengan kalimat yang sama yang sudah bisa aku hafal. Lalu aku akan marah dan meninggalkannya, jadi dia tidak akan mengikutiku lagi, hari ini.

Oh, ayolah. Sampai kapan keadaan monoton ini akan terjadi? Sangat membosankan.

"Kenapa kau mengikutiku? Kau sudah mengikutiku sejak dari sekolah." ucapku padanya saat dia sudah sampai di depanku.

"Jadi kau tahu?"

"Kenapa? Untuk apa kau mengikutiku?" pertanyaan yang sama lagi-lagi aku cetuskan untuknya. "Kau pasti sudah tahu untuk apa 'kan? Aku sudah mengatakannya sejak kemarin."

"Karena kau bilang kau harus bertemu dengan sahabatku untuk membicarakan hal yang sangat penting dan rahasia. Sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak punya teman. Tidak bisakah kau berhenti bertanya soal hal ini padaku?"

"Tidak mungkin. Jika kau jujur, kenapa kau merasa terganggu saat aku terus menanyaimu? Toh kita juga selalu bicara tentang hal yang sama setiap harinya."

"Kau bicara apa?" ucapku dingin

"Kau benar-benar tidak mau berkata jujur?"

Jujur? Jujur tentang apa? Apa yang sangat ingin diketahuinya dariku? Kenapa dia sangat mendesakku seolah jawaban dariku menentukan nasibnya.

"Aku bahkan tidak mengenalmu, untuk apa aku bicara?"

Aku mulai melangkah meninggalkannya. Dan seperti yang biasa dia akan berhenti mengikutiku jika aku sudah mengakhiri kalimatnya seperti itu. Tapi baru beberapa meter menjauh, langkahku terhenti. Sekarang aku memikirkan kenapa dia begitu ingin tahu apa aku punya teman atau tidak? Jika aku punya teman, apa hubungannya dengannya?

Aku berbalik, pemuda bodoh itu sudah melangkah menjauh. Aku heran bagaimana dia sudah berada di blok yang berbeda denganku padahal rasanya tadi aku tidak berjalan terlalu tergesa-gesa.

Dengan terpaksa aku menaiki sepedaku, dan mengayuhnya cepat untuk menyusul pemuda itu. Aku menghentikan sepedaku beberapa meter darinya. Tindakanku pun membuat langkahnya terhenti.

Aku turun dari sepedaku, memandangnya yang sekarang tengah berdiri dengan tatapan tak percaya. Kenapa? Karena aku menyusulnya tanpa alasan? Karena dia pikir aku akan menyerah?

"Ada apa Hyerin?" tanyanya.

"Kenapa kau sangat ingin tahu apa aku punya teman atau tidak? Apa hubungannya denganmu? Kenapa harus aku yang kau tanyai? Masalah apa yang akan kau bicarakan dengannya?"

Aku mencecarnya dengan pertanyaan, dan dia sendiri terdiam. Keningnya berkerut, aku sungguh tahu dia sekarang sedang berpikir keras.

"Manusia butuh 0,11 sampai satu detik untuk bicara spontan tanpa berpikir, yang artinya juga tanpa kebohongan. Kau bilang aku harus menjawab dengan jujur padamu, sekarang... kenapa pembicaraan jujur ini tidak di mulai darimu?" lagi-lagi aku mencecarnya.

"Apa maksudmu?" ia memandangku bingung

"Kau jawab pertanyaanku dengan jujur dan lengkap, baru aku jawab pertanyaanmu. Kalau kau tidak mau tidak, jangan mengikutiku. Karena aku tidak akan bicara sepatah katapun padamu. Sampai bertemu." ucapku sebelum aku melangkah naik ke sepedaku, dan mengayuhnya.

DREAM [discontinued]Where stories live. Discover now