»Do you think of me? Of what we used to be? Is it better now that I'm not around?«
●●●
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya duduk di bangku akhir SMA akan jadi sesibuk ini. Menjelang ujian nasional kami sebagai siswa dibuat kewalahan oleh terjangan berbagai try out dan ujian praktek. Seolah tanpa ampun mereka datang silih berganti. Tidak ada waktu untuk istirahat sekadar refreshing jika belum melalui yang namanya ujian nasional.
Namun, sepertinya perjuangan kami sebagai siswa kelas duabelas tidak hanya diuji ketangguhannya melewati ujian nasional saja tapi juga ujian masuk perguruan tinggi. Lalu, kapan ada libur untuk otak kami para siswa kelas duabelas yang kelelahan ini? Jawabannya tidak ada.
Mungkin nanti jika setelah diterima masuk di perguruan tinggi barulah kami bisa bernapas lega melepas penat sejenak. Oh, atau, bisa jadi justru lebih sibuk untuk mempersiapkan ke jenjang perkuliahan yang horror. Entah kenapa aku terdoktrin kata-kata Bang Dovan tentang kejamnya bangku perkuliahan.
Entah kenapa aku jadi takut untuk menuju jenjang yang menurut ftv-ftv banyak kejadian manisnya itu. Kurasa masa perkuliahan tak akan seindah yang digambar oleh ftv. Atau mungkin, memang benar seindah itu cuman masa perkuliahan Bang Dovan saja yang tidak indah.
Kususuri koridor jejeran kelas sepuluh IPS dengan santai. Masih pukul tujuh lebih lima, itu artinya aku masih punya sisa waktu kurang dari setengah jam untuk membolak-balik buku pelajaran geografi. Ini adalah hari ke-empat try out menjelang ujian nasional diselenggarakan. Aku semalaman suntuk membolak-balik buku geografi. Bahkan rasanya aku ingin muntah saat tadi pagi akan memasukkan buku tersebut ke dalam tas.
Sudah empat hari ini tiap aku menyusuri koridor kelas sepuluh pasti dipenuhi oleh anak-anak yang duduk di depan kelas sambil membaca buku. Bak dikomando mereka berjajar dengan rapi sambil membawa buku pelajaran. Masing-masing pasti membawa buku pelajaran entah setelah akan diapakan buku pelajaran tersebut setelah duduk bergabung dengan temannya.
Aku berjalan menuju kelas XI-IPA 2 dimana ruang tesku berada. Tepat seperti dugaanku, di dekat tangga kelas sudah berjejer dengan rapi anak-anak perempuan kelasku. Sama seperti anak-anak yang kutemui di koridor sepanjang perjalanan kemari, mereka juga membawa buku pelajaran. Sebagian dari mereka ada yang masih asyik membaca, sebagian lagi sibuk ngerumpi dan menggunakan buku geografi hanya sebagai pajangan untuk dibawa.
"Ga kerasa ya UN sebentar lagi," celetuk Hanum disela-sela rumpiannya.
"Duh, gausah ngingetin deh..." seloroh Zea.
"Yeh, kaga usah diingetin juga kudunya lo udah inget. Orang udah sering try out juga," kata Iyas.
"Makin cepet dong kita pisah..."
"Ah iya juga,"
"Bakal kangen deh nasi goreng Mba Yuni,"
"Bakalan kangen gorengan Bu Zain juga,"
"Bakal kangen teh kotaknya Mang Diko,"
"Bakal kangen nyontek ulangan matematikanya Cella..." celetuk si Ndut. Yang lain kemudian tertawa renyah.
"Eh UN matematika besok nasib gue gimana ya..." kata Freya.
"Udah pasrah aja lah sama takdir. Kemaren try out matematika aja gue cap cip cup," ujar Iyas sambil menghela napas.
"Eh masa try out kemaren katanya ada yang udah punya kunci jawaban," celetuk Zea.
"Iya katanya anak IPA juga banyak yang punya."
"Hah? Seriusan?"
"Yaelah baru try out aja udah pake kunci jawaban," kata Iyas.
"Emang udah banyak kok yang gitu. Taun sepupu gue dulu sekolah aja hampir sekelas UN pake kunci,"
"Ih? Serius?"
"Iya lah pasti banyak yang gitu. Kaga keliatan aja,"
"Dih gue mah ogah UN beli kunci, mending juga jujur. Sayang duit kali beli mahal mahal gitu,"
"Kan patungan belinya anak sekelas,"
"Terniat sih itu."
"Lagian ngapain sih pake gituan segala. Jujur apa susahnya?" kata Kalila.
"Ya, lo ga ngerasain aja kali gimana susahnya UN enam mata pelajaran. Lagi itungan semua sehari dua mapel. Mabok-mabok dah tuh belajar," sanggah Freya.
"Yaudah lah. Biarin aja sih mereka yang mau pake gitu kenapa jadi kita yang repot ngurusin? Lagian kalo udah tau itu ga baik, ya bagus lah yang gituan ga usah ditiru. Mau jujur ya jujur aja, habis perkara," kataku menengahi.
"Betul!" kata si Ndut.
"Setuju sama, Rain!"
"Udah mulai ketularan positifnya Arsa nih bocah," ledek Hanum sambil tertawa. Mendengar nama itu disebut, air mukaku langsung berubah.
Arsa ya? Apa kabar cowok hujan itu? Di hari sejak dia mengakhiri kesepakatan pacaran bohongan yang mana diakhiri dengan bertengkar, aku belum pernah sekalipun melihat batang hidungnya berkeliaran di sekolah.
Di kantin pun saat istirahat aku tidak pernah melihat ia berkumpul bersama gengnya. Sejak hari itu aku benar-benar tidak pernah lagi menjalin kontak dengannya. Entah ia benar-benar hilang diculik demogorgon atau dengan sengaja menghindar dariku.
Rafi? Tentu aku masih sering melihatnya. Bahkan lelaki itu duduk tepat di belakangku selama try out. Masih sama seperti sebelumnya, sikapnya masih dingin padaku. Aku pun juga sama.
Sejak hari itu aku sama sekali belum berbicara sepatah dua patah katapun pada Rafi. Ogah. Aku kepalang kesal dengan perbuatannya. Semuanya salah Rafi.
Dia yang menyebar kontakku pada Farez. Dia yang membuatku harus memulai pacaran bohongan dengan Arsa. Kalau bukan gara-gara itu aku pasti sekarang tidak terlibat permusuhan dengan Arsa.
Great! Mendekati kelulusan di masa SMA aku malah mendapat satu musuh baru. Terima kasih Rafi Junantya kamu memang yang paling bisa memperkeruh kehidupanku yang kelam!
Aku menghela napas sebentar. Kulirik si Ndut menyenggol siku Hanum entah memberi kode kalau dia barusan salah bicara, atau entah apa. Tapi Hanum langsung menutup mulutnya seperti orang yang kelepasan bicara.
*****
jangan lupa tinggalkan jejak disini dan di cerita SM:AA yaaaaw. makin rame lapak SM:AA makin cepet publish disini ehehehe. enjoy reading!!!
luv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain & Raina
Teen Fiction[✔] Ini cerita tentangku. Tentang seorang Raina Milea Irawan. Tentang hujan yang kubenci. Tentang matematika yang tidak kusukai. Tentang cinta yang kupercaya hanya fantasi. Dan tentang dia yang mengajariku supaya jangan takut mencinta kembali. Ini...