Bab 27

2.5K 148 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


    »I think it's time I lay my heart out on the line «    

    ● ● ● 


Pagi ini aku melangkahkan kaki menyusuri koridor loker dengan senyum yang mengembang. Dengan novel berwarna abu-abu yang ada digenggamanku membuat moodku benar-benar baik hari ini. 

Oh, ralat, sebenarnya memang moodku sudah baik sejak sore kemarin. Aku bahkan sampai lupa sudah menangis tersedu-sedu akibat pertemuan bersama Lando. Pikiranku sekarang penuh dengan tokoh fiksi yang kini novelnya sedang kubaca. Daritadi malam aku ngebut baca novel ini. Bahkan tadi pagi saat bangun tidur dan bersiap-siap akan ke sekolah aku juga menyempatkan membaca novel ini.

Tepat seperti janji cowok hujan itu, dia membelikanku sebuah novel cover abu-abu yang aku incar. Dia memberiku novel ini dengan cuma-cuma. Padahal perjanjiannya kan sesudah nilai ulangan Pak Salman tempo hari keluar, tapi sebelum hasil ualangan dibagi, tepatnya sore kemarin setelah hujan-hujanan Arsa memberikanku novel ini. 

Lengkap dengan plastik segel buku yang masih terpasang apik. Tanpa harus membayar sepeserpun padanya. Tanpa harus memperlihatkan hasil ulangan padanya. Dan tanpa perkataan apa-apa yang keluar dari mulutnya, laki-laki itu menyerahkan novel ini padaku saat di mobil.

Saat aku tanya kenapa ia memberikan novel ini padaku padahal aku belum tau hasil ulanganku remed atau tidak, ia hanya menjawab.

"Cuma mau nepatin janji,"

Sesingkat itu dan kemudian novel itu berpindah tangan padaku.

Sesampainya di kelas, aku langsung duduk di kursiku dan dengan tenang membaca novel 'Milea' pemberian Arsa.

"Pagi pacarnya Arsa!" goda Freya sambil meletakkan tasnya di sebelahku. Aku sama sekali tidak berkutik dan terus melanjutkan aksi membaca novel.

"Ih, dikacangin!" sungut Freya. "Lagi baca apaan sih, serius amat." gadis itu kemudian melihat bagian depan novel abu-abuku.

"Hah?! Lanjutannya Dilan!?" ujarnya heboh. Aku menghentikan aksi membacaku sejenak kemudian melemparkan pandangan sombongku padanya.

"Iya donggg," kataku pamer dengan senyum yang mengembang.

"Ihhh pinjem donggg!" kata Freya.

"Sip. Nunggu gue selese baca ya,"

"Gue pem-booking pertama loh ya," ujarnya lagi. Aku mengangguk.

"Pantesan waktu kemaren gue ngajakin lo beli online lo-nya gamau. Katanya gapunya duit, taunya malah beli novel,"

"Gue emang enggak punya duit. Ini juga novel dapet gratis," terangku singkat sambil kembali beralih pada novel lagi.

"Gratis? Jangan bilang lo jadi ceweknya mas-mas kasir gramed demi novel ini!?"

"Eh lendir siput, mana bakal mas-mas kasir ngasih novel cuma cuma ke pacarnya sendiri. Lo kira gramed punya nenek moyangnya apa,"

"Ya siapa tau kan ya..."

Sepulang sekolah, aku langsung menuju ke kedai kopi dekat sekolah. Aku punya janji dengan Arsa untuk belajar matematika. Lagi.

Aku duduk dengan tenang sambil masih membaca novel abu-abu di meja sudut kedai itu. Arsa menyuruhku kesini lebih dulu karena ia ada urusan sebentar yang aku pun tidak tahu urusan macam apa itu. Kurang beberapa lembar lagi dan novel yang kubaca akan selesai. Kurang dari duapuluh empat jam novel setebal empat ratus halaman itu kubaca habis.

Aku sontak mengalihkan padnangan kearah pintu masuk kedai saat mendengar deritan dari pintu itu. Nampaklah sosok laki-laki yang sudah kutunggu dari tadi. Arsa sambil memanggul sebelah tasnya berjalan menuju kearah mejaku.

Cowok hujan itu duduk di depanku. Kulihat matanya mengarah pada novel yang masih kupegang. Sudut bibirnya sedikit naik sebelum akhirnya ia melihat kearahku.

"Udahan baca novelnya. Sekarang matematika dulu," ujarnya kemudian mengambil buku yang ada di dalam tasnya.

"Udah selese dong baca novelnya!" seruku mau pamer.

"Cepet banget?" kata Arsa sambil mengernyit.

"Iya lah,"

"Giliran baca novel cepet banget kelarnya. Buku pelajaran malah kaga kelar-kelar dibaca," cibirnya. Aku mendengus.

Ada hening sebentar. Arsa sibuk membolak-balik buku cetak matematika, mungkin untuk mencari bahan belajar hari ini. Sedang aku sibuk membolak-balik novel pemberian cowok itu. Aku sama sekali belum mengeluarkan buku matematika dari dalam tasku.

"Huh, harusnya dari dulu gue dipanggil Milea aja ya." kataku tiba-tiba. "Coba kalo gue dipanggil Milea dari dulu dan bukan Rain,"

Arsa melirik kearahku sekilas. "Jangan," katanya.

"Kenapa?"

"Nanti Dilan naksir." singkatnya.

"Gak apa apa. Gue suka Dilan," ucapku cengengesan sambil membiarkan otakku berfantasi liar tentang tokoh Dilan.

Ah, kalau saja bisa meminta satu laki-laki aku ingin laki-laki seperti tokoh di karangan novel itu. Tuhan, aku pesan satu yang seperti Dilan. Aku masih mesem-mesem tidak jelas.

"Tapi Dilan punya Milea." ucap Arsa lagi.

"Kan, gue, Milea-nya." kataku sambil menunjuk diriku sendiri.

Memang benar kan diantara namaku terselip nama Milea? Jadi tidak salah dong aku menunjuk diriku sendiri sebagai Milea?

"Kalo gitu gue Dilan-nya." ujarnya. Aku memutar bola mata mendengar penuturannya. Kenapa sih Arsa selalu saja berhasil merusak fantasiku tentang tokoh fiksi kesukaannku!?

"Ah, rusak kan fantasi gue." ujarku sebal. Arsa hanya menyunggingkan senyum miringnya tanpa melihat kearahku. Cowok itu masih menatap kearah buku warna biru di hadapannya.

"Heran deh gue sama lo. Hobi banget ngerusak fantasi gue tentang tokoh cowok idaman gue. Pertama, Legolas. Sekarang Dilan. Besok siapa lagi?" sewotku.

"Gue enggak pengen juga kok jadi tokoh fantasi lo itu," kata Arsa. "Gue pengennya jadi yang nyata-nyata aja. Jadi bumi lo misalnya," lanjutnya yang bahkan kini beralih melihat lurus kearahku.

☁☂☁

Aku memandang langit-langit kamarku sambil merenung. Perkataan Arsa tadi sore entah kenapa menghantuiku. Iya sih dia cuma bilang kata sepele, tapi entah kenapa aku menganggap perkataan itu tidak sesepele itu. Semua perlakuannya akhir-akhir ini menurutku berbeda. Arsa yang kukenal kini bukanlah dia yang sedingin es. Bahkan bisa dibilang perlakuannya padaku itu err... manis?

Ah, mikir apaan sih Rain batinku.

Tidak Rain, jangan jatuh cinta. Jangan jatuh cinta pada Arsa. Jangan. Inget, ini semua cuma sandiwara. Kamu itu tidak benar-benar berpacaran dengan Arsa.

Berkali-kali aku mencoba mengatakan hal itu pada diriku sendiri. Namun, otakku yang sepertinya mulai tidak sinkron ini malah terus-menerus mengingat semua perlakuan Arsa padaku. Semua tentang Arsa kini berhasil memenuhi ruang pikiranku. 

Bagaimana senyum miringnya yang menawan saat mengejekku. Bagaimana cengiran menjengkelkannya yang terpatri apik saat berhasil menjahiliku. Bagaimana tatapan datarnya yang ia lemparkan padaku. Bagaimana rambut cokelatnya yang acak-acakan itu membuatku khilaf ingin menjambaknya.

Satupertanyaanku, dari sekian banyak orang yang bisa membuatku merasakan yangnamanya 'kenyamanan' lagi, kenapa harus Arsa?

Rain & RainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang