(H)alaman Satu

132 3 3
                                    

Sabtu, 28 November.

Hari ini aku masih duduk di kursi besi di ruang tunggu. Jujur bokongku pegalnya luar biasa. Tapi hatiku lebih pegal.

Masih pegal.

Perbandingannya jelek ya? hahaha. Aku tidak tahu pasti kenapa aku menulis di buku jurnalku hari ini (buku ini tidak pernah kuisi sebelumnya). Kurasa jika suatu saat cucu-cucuku menemukan jurnal ini mereka akan kaget dengan catatan ini di halaman pertama jurnal. Walaupun aku tidak yakin apa aku akan punya cucu, tapi masa bodo lah. Kutulis saja. Untuk cucuku atau aku menjelang umurku di akhir.

Iya, hari ini aku semakin tidak yakin aku akan punya cucu atau anak sekalipun. Alasannya?

Satu, aku tidak begitu suka anak-anak. Bahkan kalau tante-tanteku atau saudara-saudaraku minta aku gendong bayi mereka, bayinya nangis. Hehe, kurasa mereka juga tidak suka aku. Bukannya aku jahat atau apa, tapi kurasa auraku tidak bisa diterima anak-anak. Beda dengan Kierr, anak-anak selalu nempel sama dia.

Dua, aku bukan orang yang sabar. Tapi tenang, aku ga kasar kok. Aku bukan tipikal orang yang suka jewer anak orang atau jitak hanya karena ga sabar. Tapi aku menggerutu sih emang. makanya anak-anak itu juga bete. Beda sama Kierr, dia sabar banget. Sangat sabar. ga sabarnya cuma samaku. Hehe.

Tiga, Kierr, alasanku duduk di kursi besi saat ini. Kursi besi di ruang tunggu Rumah Sakit yang sangat familiar rasanya di bokongku selama beberapa minggu ini.


Kierr,

sahabatku, kekasihku, pendampingku.

teman baikku, pesaing terhebatku, luka di hatiku.

kesayanganku, lesung dipipiku, dan air mata di sudut-sudut mataku.

terlebih lagi, halaman pertama di jurnalku.


Hari ini aku menangis di sujudku, untuk sahabatku, atas semua penderitaan dan rasa sakit yang dialaminya. Batin, fisik, semua. Tuhan, kalau bisa bagi dua saja rasa sakitnya, atau tukar samaku. Biarlah ringan sedikit nafasnya, girang sedikit darah yang mengalir di tubuhnya.

Hari ini aku menangis di sujudku, untuk kekasihku. Yang selama ini sabar menemaniku, sabar mencintaiku dan sabar berbagi hangatnya selimut di malam hari saat hujan, atau coklat panas di satu cangkir.

Hari ini aku menangis di sujudku, untuk pendampingku, yang berjalan di sampingku saat semua orang menatap sinis, atau melempar batu kata yang buat memar hatiku.

Kesayanganku sedang terbaring lemah di atas seprai putih pagi ini. Tangannya biasanya kuat kok, sayangnya sekarang sedang lelah. Walau begitu, kalau matanya terbuka, pasti timbul lesung di pipiku saat melihat mata hitamnya lagi. Walau mungkin lesung pipiku, dibarengi dengan air mata di sudut-sudut mataku.

Untuk halaman pertama di jurnalku, Kierrku, kuharap aku yang berdebar-debar dan duduk pegal di kursi besi ini bisa bangun di pagi hari dan dengar senandungmu di kamar mandi. lalu bisa kuomeli, "Kierr, berisik".

Terakhir, kuharap nafasmu bisa kembali lagi.

Aku tidak yakin akan punya cucu atau anak sekalipun. Bagaimana tidak? Aku tidak akan kuat menceritakan betapa hebatnya Ayah atau Kakek mereka tanpa menangis.

Hari ini aku menangis di sujudku, untuk pria terhebat kedua setelah ayahku.

Tenang-tenang di surga ya, pantau aku darisana. Aku rindu. Padahal baru sejam yang lalu dengar hembus terakhirmu.

Sekian.

*mungkin halaman terakhir dari jurnal ini*

fin.


A Book Full Of Thought (bahasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang