Konspirasi Global Hancurkan Pasar Produk Indonesia

2.7K 88 8
                                    

Indonesia adalah negara yang kaya raya, berbagai komoditi yang dihasilkan di negeri subur ini berpotensi besar menguasai pasar dunia yang hasilnya dapat untuk mensejahterakan rakyat. Namun dalam kenyataannya, beberapa produk Indonesia remuk dalam persaingan global. Tak usah menyebut produk elektronik atau produk lain yang berteknologi tinggi, bahkan produk sederhana seperti minyak kelapa, gula, garam, dan jamu pun kocar-kacir di pasar internasional. Apa pasal? Apakah karena para pengusaha kita adalah pengusaha-pengusaha lemah yang tak mampu bersaing di pasar global? Tidak sepenuhnya begitu. Kondisi itu disebabkan oleh gagalnya negara ini melindungi produk-produknya dari konspirasi global yang mematikan.

Adalah Abisham DM dan kawan-kawan membeber realitas ini dalam bukunya "Membunuh Indonesia". Buku itu sejatinya hendak membahas konspirasi global yang hendak membangkrutkan kretek Indonesia. Namun, sinyal atas upaya itu dapat tertangkap karena ada pengalaman sebelumnya tentang bagaimana Amerika Serikat melakukan konspirasi terhadap produk Indonesia yang di proyeksikan mampu menguasai pasar dunia. Misalnya, untuk menghancurkan dominasi minyak kelapa dari Indonesia, pada tahun 1960-an Amerika Serikat melakukan kampanye besar-besaran mengenai bahaya minyak kelapa khususnya yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Melalui Institusi yang disebut sebagai "rezim kesehatan". Isu-isu penyakit akibat minyak kelapa digulirkan. Kolestrol dan penyakit jantung menjadi isu yang paling kerap disebut.

Dengan dalih bahaya kolestrol, American Soy Association meminta pemerintah mengharuskan pemasangan label peringatan di setiap produk yang mengandung minyak kelapa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan dalih bahaya kolestrol, American Soy Association meminta pemerintah mengharuskan pemasangan label peringatan di setiap produk yang mengandung minyak kelapa. Agenda dagang dibalik klaim kesehatan ini ampuh merasuki publik, otoritas kesehatan, dan pemegang kekuasaan. Padahal, selama ribuan tahun minyak kelapa dikonsumsi tanpa bukti efek bahaya yang berlebihan. Kini komoditas minyak kelapa digeser kelapa sawit dan minyak nabati lainnya. Dengan modus yang lain, industri gula juga terpuruk melalui pembebasan tata niaga pertanian, salah satunya seperti yang dilesakan Dana Moneter Internasional (IMF). Akibatnya, pasar gula dalam negeri dibanjiri gula impor perusahaan-perusahaan multinasional.

Demikian juga untuk menyingkirkan produk garam dari Indonesia, Amerika Serikat mengampanyekan bahwa garam Indonesia tidak beryodium karena diproses secara tradisional. Untuk isu ini, aktor utamanya adalah Akzo Nobel, perusahaan multinasional dengan 18 unit usaha bidang kesehatan, cat, dan kimia yang beroperasi di 80 negara. Akzo Nobel memproduksi garam beryodium sejak 1918, empat pabriknya di Eropa dan Australia memiliki kapasitas produksi garam 2 juta ton per tahun. Dengan alasan demi kesehatan, Akzo Nobel, yang menggandeng Unicef, rajin berkampanye tentang fungsi garam beryodium. Kampanye itu tentu saja benar dan baik, tapi membiarkan produsen garam di negara berkembang tanpa sokongan modal, riset, dan kelembagaan untuk memproduksi garam beryodium sama saja dengan menempatkan satu karung garam di bibir pantai, begitu ombak persaingan datang, mereka langsung lampus tak berbekas. Tak heran jika kemudian terjadi pemandangan yang ironis, dimana negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia terpaksa harus mengimpor garam.

Hal serupa juga terjadi pada jamu, meski lebih tahan dibandingkan produk dalam negeri lainnya, produk jamu Indonesia kini tengah mengalami gempuran hebat dari produk-produk perusahaan farmasi Amerika Serikat dan Eropa. Industri obat yang berbahan baku tanaman tradisional ini terus-menerus didiskreditkan oleh sistem farmasi modern melalui isu tidak adanya dukungan riset dan standarisaai produk.

Tidak berhenti pada jamu, bahkan nasi pun mereka gempur. Dalam hal nasi,  Amerika Serikat sempat menggulir kampanye sehari tanpa nasi. Ini merupakan upaya untuk mengalihkan masyarakat dunia agar beralih pada gandum dan kentang. Dengan begitu, bahkan orang Indonesia pun "dipaksa"  mengimpor dua komoditas tersebut karena lahan Indonesia tidak cukup untuk menghasilkan kedua komoditas tersebut.

 Dengan begitu, bahkan orang Indonesia pun "dipaksa"  mengimpor dua komoditas tersebut karena lahan Indonesia tidak cukup untuk menghasilkan kedua komoditas tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kini, menurut Abisham, strategi serupa tengah diterapkan Amerika Serikat untuk menghancurkan industri keretek Indonesia. Konspirasi melibatkan segitiga pihak yang berkepentingan, yakni lembaga internasional, perusahaan multinasional, dan negara-negara maju. Mereka berkampanye besar-besaran bahwa komoditas warisan budaya Indonesia yang namanya diambil dari bunyi kretek-kretek yang muncul dari racikan cengkeh dengan tembakau yang tersulut bara dianggap sebagai biang perusak paru-paru dan jantung yang ganas yang harus dijauhi. Maka setelah hampir seabad berjaya, ramuan temuan Hadji Djamhari yang semula digunakan untuk meredakan sesak di dada itu kini mulai menuju titik surutnya. Ujung dari kampanye ini bukan menyehatkan masyarakat dunia, melainkan "demi keuntungan perusahaan rokok dan farmasi asing", tandas Abisham.

teori konspirasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang