Part 5 - Orange Juice

72 5 0
                                    


Class Meeting Day 1

"Kamu PJ lomba lukis juga Ca?"

"Iya..."

"Sumpah Ca?? Bakal tabrakan dong jamnya ama lomba voli??" Geby agak menggelegar.

"Eh?" aku tersadar dari lamunanku beberapa detik lalu, "Apa Geb?" tanyaku padanya lagi.

"Kamu kenapa sih Ca?" Geby menyadari pikiranku yang sedang tidak pada tempatnya, "Aku nanya, kamu PJ lukis juga atau nggak?" lanjutnya kemudian.

"Ohhh, enggak kok enggak, aku cuma PJ lomba voli aja. PJ lomba lukis di handle langsung sama Kak Dania" jawabku rinci.

"Hmm, kamu bisa cerita ke aku kok kalo mau," tawar Geby tersenyum simpul sambil mengangkat beberapa kotak papan catur, "i will always be here for you, okay!" pungkasnya lalu memberi kode untuk segera keluar dari ruang penyimpanan alat olahraga. Entah mengapa papan catur kami memang disimpan di lemari ruang olahraga. Biarlah menjadi urusan Pak Buniar yang memerintahkan. Guru olahraga kami.

Dalam perjalanan kami menuju aula lokasi lomba catur, seseorang seperti mengikuti, ya kami tau ada yang mengikuti hingga kemudian,

"Ocaaa! Hehe..."

"Kak Rakaaa hehehe..." sapa Geby pada Raka yang terlihat sedang tebar pesona itu dengan kostum volleynya.

"Hai Geb! PJ catur ya?" balas Raka pada Geby.

"Iya nih Kak hehe, volinya udah mau pemanasan ya Kak?"

"Iya Geb, semangat ya ngurusin papan caturnya hahaha..." ledek Raka pada Geby sambil mencolek lengannya, "aku pinjem Oca bentar yah hehe" lanjutnya kemudian. Aku hanya melirik bosan.

Geby tidak menjawab, ia hanya tersenyum sok manis pada Raka lalu melanjutkan jalannya ke arah aula. Raka hanya menuntun pundakku dan menyuruhku duduk di bangku besi di ruang loker olahraga. 'Serem sih ini, mirip adegan pembunuhan psikopat' batinku selalu berkecamuk liar seperti ini.

"Kenapa sih?" tanyaku pada Raka.

"Oca, kemarin itu siapa? Aku harus tau, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Ca..."

"Aku juga nggak tau Ka... dia cuma balikin charger aku itu aja"

"Tapi keterangan kamu kemarin, 'dia ngikutin aku sampe kerumah sini, lalu tiba-tiba udah tau namaku' bagian mana yang nggak bikin aku khawatir Ca?" ucapan Raka agak meninggi, aku khawatir dia akan kambuh.

"Iya, aku minta maaf..." sebenarnya aku tidak perlu melakukan ini, aku tidak salah, memangnya Raka siapa bisa melarangku melakukan apapun bersama siapapun. Hanya saja aku tidak ingin membuatnya emosi seperti ini. Belum lagi, ketika lomba voli nanti pasti Raka akan membutuhkanku untuk menyiapkan inhaler. Ini membuatku serba salah. Benar-benar.

"Hmmm..." Raka yang berdiri dihadapanku hanya terlihat menghela napasnya, sedikit panjang kemudian ia melanjutkan,
"Aku nggak mau kamu kenal sama orang asing, aku cuma pengen jagain kamu supaya papi nggak kuatir sama kamu karena udah ada aku, aku pingin papimu percaya sama aku kayak mamaku yang percaya ke kamu..." ucap Raka tiba-tiba dengan bergetar, tangan kanannya menyentuh tangan kiriku, mengambilnya lalu menggenggam.

"Kaaa..." ucapanku kembali dipotong oleh Raka.

"Janji sama aku mau? Hmm?" tanya Raka kemudian. Matanya sendu.

"Janji apa?"

"Kalo kamu punya temen baru, aku harus tau dia siapa dan tetek-bengeknya, boleh nggak?"

"Mmm..." aku bernada berpikir namun dapat terdengar mengiyakan.

Kemarin selepas Joseph berpamitan, Raka dan Kak Dania mengintipku dibalik pintu depan yang sempat kubuka. Aku berjalan menuju pintu dengan menunduk sambil memasukan charger kedalam tas. Tanpa kusadari pandangan Raka dan Kak Dania di hadapanku seperti melihat kuman yang membawa virus penyakit, tatapan curiga yang menyesakkan dan menagih satu paragraf penjelasan dariku.

TimesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang