Requestan mu ini mbak febridonald akhirnya aku buat age gap lagi.. Wkwkkw
.
.
.“Shit!” umpatku saat Mas Abram mengerem mendadak. “Lipstik aku berantakan nih!” dumelku.
Sedangkan yang kuomeli jangankan menoleh dia tetap memandang lurus ke jalanan. “Nggak terkejar. Keburu lampu merah,” jelasnya dengan sedikit baris kata-kata dengan ekspresiii... yah, lempeng aja gitu.
Aku mengambil tisu dengan beberapa kali tarikan. Mengusap total bibirku yang tadinya mau kuberi warna merah menyala, biar matching sama gaun hitamku. Jadi kayak kasih kesan seksi gitu, tapi seseksi-seksinya aku nggak akan ngaruh dimata suamiku ini.
Aku nggak sakit hati sih. Pria usia 44 tahun ini mungkin punya konsep berbeda dengan kata seksi, atau dia memang nggak bisa bedain lagi mana wanita yang seksi atau nggak, karena nggak ada lagi yang bisa menarik minatnya kecuali sekumpulan perangkat komputer di ruang kerjanya.
Oh, lihatlah, sekarang polesan foundation-ku udah nggak rata lagi. Make-up di mobil dengan sopir serabutan memang bikin kesel kuadrat. Dan kenapa aku nggak make-up dari rumah, ya karena si Pak Bos satu ini nggak bilang kalau malam ini ada undangan penting! Begitu aku sampai rumah sepulang kerja tadi dia udah siap dengan setelan jas. Tumben-tumbenan banget! Aku sempat terkesima sesaat sebelum nada perintahnya muncul. “Aku tunggu lima belas menit. Nggak usah mandi.”
Hell ya! Aku bukan istri yang nurut-nurut banget dan langsung mengkonfrontasinya dengan banyak pertanyaan. Dan tahu ceritanya kenapa aku nggak boleh mandi langsung ganti baju gitu aja? Karena tiba-tiba Mamanya telepon ingetin kalau hari ini anak dari kolega bisnis Papanya—yang masuk dalam jajaran 50 orang terkaya di Indonesia itu—menikah. Lebih ngenesnya lagi dia udah terima undangan dari seminggu yang lalu, dan cukup dengan kata ‘lupa’ maka semua ini terjadi. Hebat! Suamiku memang hebat!
“Jangan buang ke bawah. Simpan di tas.”
Ough! Kukira dia nggak bakal tahu kalau aku mau nyelipin sampah tisuku di mobilnya. Dikotorin sesekali juga nggak apa kan?
Ponsel Mas Abram berdering lagi. Aku tahu itu pasti dari Mama mertuaku. Dan sahutan suamiku hanya meng-iya-iya kan. Suamiku itu anak pertama. Punya adik dua cewek udah pada punya keluarga dan anak. Tapi, herannya Mama mertuaku paling usik sama kehidupan Mas Abram, mungkin dia tahu banget kalau anaknya satu ini punya pola hidup rada aneh. Itu bukan pemikiran subjektifku aja kok, buktinya Mama Mertuaku mewanti-wanti banyak hal ketika aku nikah sama Mas Abram.
Aku memasukkan alat make-up ku ke dalam tas saat kurasa tampilanku sudah cukup memuaskan. Mobil Mas Abram juga udah memutar ke area parkir hotel berbintang.
“Kita salaman habis itu pulang,” katanya melepas seatbelt. Hei! Aku udah berusaha cari baju yang pas terus dandan di mobil begini cuma buat salaman doang?! “Ayo cepet, antrinya lama pasti,” imbuhnya lagi.
Gila nggak sih?
Aku melepas seat belt dengan tampang kesal. Di luar mobil dia terlihat menungguku tak sabaran. Sedangkan aku harus memastikan gaun yang kukenakan baik-baik saja ketika turun. Cewek itu rumit Mas! Sabar dikit napa! dumelku dalam hati.
Ketika Mas Abram menarik tanganku dalam genggamannya aku mengerjap beberapa kali. Jalan gandengan tangan? Dunia udah terbalik kali ya, because ini pertama kalinya dalam sejarah tiga bulan pernikahan kami. Biasanya ya udah dia anteng aja jalan duluan, nggak peduli bininya dimana dan lagi ngapain.
Tapi, kalau di kira ini adalah genggaman tangan mesra, kalian salah! Nyatanya dia sengaja menggenggam tanganku biar bisa menyeret langkahku mengikuti jalan cepatnya.