About Him - [10]

34.3K 5.2K 219
                                        

“Minta candlelight dinner, La!”

Aku memutar mataku. Padahal aku udah nggak mau lagi dengan yang muluk-muluk soal ide-ide Cath yang makin lama makin nggak masuk diakal. Nggak deh. Ngapain juga aku berusaha narik perhatian Mas Abram. Kalau tadi Mas Abram CEO di kantor besar, terus gayanya necis setiap saat, baru deh aku worry dia ditaksir sama cewek-cewek cantik.

Lha ini? keluar rumah aja dia jarang. Sekalinya keluar. Ya acara keluarga. Atau keluar kota gitu.

“Mas Abram lebih suka pake kaos. Terus makan di kaki lima. Nggak ada tampang kalo ke tempat begituan,” sahutku.

“Lo bilang dia pernah pake jas.”

Ya, dan itu cuma sekali doang. “Ya teruuss? Gue tahu banget dia nggak nyaman pake itu.”

“Minta honeymoon. Belum pernah kan?”

Aku mendengus keras-keras. “Gue penginnya ngindar jauh-jauh ini malah ngejebak diri seharian di kamar hotel gitu? Yang ada gue sama dia cuma numpang tidur sama nonton.”

Cath tergelak-gelak.

Aku melambai-lambaikan tanganku. “Udahlah. Segala ide lo nggak akan gue ikutin lagi. Pasrah gue, dapet lakik kayak dia. Gue kerja, dia di rumah. Itu udah paling bener. Tapi kayaknya sebentar lagi kebebasan gue bakal berakhir.” Aku kembali menyuap spaghetti ke dalam mulut. “Bisa aja sih minta ke dia tetep kerja. Tapi gue males kena omel Ibu.”

“Yakali, lo kerja, lakik lo ngurus Aca. Kebalik namanya.”

“Ya... dan gue yakin dia nggak ada bakat ngurus anak kecil.”

“Wupss!” Cath berseru dengan mata melotot. “Punya anak La! Kalau lo punya anak pasti lo bisa minta ini itu.”

Alisku menanjak. “Kenapa mesti punya anak baru gue bisa minta ini-itu? Sekarang pun bisa kok. Cuma gue males—“

“Gengsi!” celetuk Cath. “Minimal kalau itu anak dia kan lo bisa liat. Apa mesti diminta dulu baru dilakuin atau dia memang punya inisiatif kalau menyangkut anaknya.”

Dahiku semakin berlipat. “Ada kemungkinan. Eh tapi tunggu dulu. Gue jadi kepikiran sesuatu. Cuma karena Aca mode anak nggak malu-an makanya dia nggak bisa ngelak. Lo bayangin kalau Aca tipe anak malu-malu kucing. Jangankan gendong. Nyentuh aja pasti Mas Abram nggak mau.”

“Jeng. Jeng. Sist. Please... lo jadi paranoid banget ya kalau hubungan sama Aca. Ya mungkin Mamas mu itu memang kaku, tapi kayaknya dia nggak se-culas itu deh.”

“Siapa yang tahu? Gue memang udah tegasin dari awal kalau gue cari laki yang bisa sayang ke anak gue juga. Tapi sejauh ini yang gue liat cuma Aca yang terus-terusan nempel ke dia. Mas Abram nggak pernah punya inisiatif duluan.”

“Ya kan. Karena memang sifatnya begitu, masa nggak ngerti sih lo?”

“Terus maksud lo kalau dia sama anaknya sendiri bakal beda gimana? Bukannya, harusnya sama aja? Gue nggak mau Aca dibeda-bedain. Kayaknya gue harus pastiin lagi soal ini. Gimana perlakuannya sama Aca kalau anak dia ada.” Itu artinya anak dari aku dong? Aku meringis. “Maksud gue—“

“Ya lo hamil. Maksud gimana lagi? Hadeeh... emang lo nggak mau hamil dari laki sendiri?”

Bibirku mengerucut. “Ya... iya. Tapi nggak dalam waktu dekat lah.”

“Eh, asal lo tau, bukan cuma Mas Abram yang berubah jadi perhatian—mungkin. Tapi mertua lo juga. Cucu dari anak laki-laki pasti selalu dinantilah. Lo udah kenyang cibiran mantan mertua kan? udah saatnya disayang-sayang mertua yang sekarang. Kapan lagi bokk...”  

About Him? Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang