About Him - [8]

38.1K 5.3K 234
                                    

Pak Bos seperti biasa lagi nonton TV saat aku lagi di depan cermin memoles lipstik. Kegiatannya masih sama meskipun punggungnya tertempel koyo. Aku kira dia bakal telat bangun. Nggak tahunya aku yang hampir telat kalau nggak dia bangunin.

Ponselku bergetar, aku langsung mengangkat saat nomor Ibu tertera di layar.

“Ya Bu,” sahutku.

“Assalamualaikuuum...” balas Ibu panjang.

Aku meringis. “Waalaikumsalam.”

Ibu malah berdecak. “Ibu itu nyindir, malah di jawab.”

“Lho salam harus di jawab Bu.”

“Ah udahlah, ngedumel sama kamu nggak ada abisnya. Eh, tadi Ibu mau ngomong apa? Jadi lupakan.”

“Ya coba diinget lagi, Bu.”

“Iya tunggu! Makanya, kamu jangan ngomong dulu.”

See, aku harus menunggu Ibu mengingat-ingat kembali. Harus maklum. Faktor umur.

“Ah. Itu! Tau nggak La—“ Aku mendengus. Ya nggak tahu.  “Aca semalam itu kebangun pas abis pulang jalan-jalan. Nangis nyariin Papanya.”

Alisku terangkat. “Papanya?”

“Suamimu sekarang. Jadi siapa lagi? Masa Raffan?” Oh. “Kamu udah ajukan surat pengunduran diri, La? Kamu itu harus siap-siap.”

“Siap-siap ngapain, Bu?”

“Ya, jadi IRT. Mulai belajar-belajar masak lah.” Aku melirik Mas Abram. Belajar masak? Aku bisa masak, walaupun rasanya standar. “Belajar ngurus suami. Cuciin baju suami kamu. Masa laundry terus. Belajar ngurus Aca juga! Dari kecil kan Ibu yang ngurusin. Kamu hobinya cuma buat nangis aja.”  

“Hm.”

“Hm apa? Kamu denger Ibu bilang apa kan? Jangan sepele La. Jadi Ibu Rumah Tangga itu berat.”

“Iya. Ya udah Bu, ini Ola mau berangkat kerja.”

“Ya udah. Pokoknya ingat pesan Ibu. Iya.”

“Iya.”

“Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi.”

Aku menelan ludah. “Iya.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”  

Harusnya aku nggak mesti pikirin, karena biasanya juga aku langsung capcus berangkat kerja. Tapi hari ini entah kenapa batinku mendadak nggak enak, apalagi saat Ibu singgung kejadian dulu. Saat aku berdiri menatap kembali pantulan diriku di cermin, meratakan lipstik yang belum sempurna kupoles, aku kembali melamun.

Lipstik? Ya, lipstik. Kalau aku nggak kerja, dan cuma di rumah aja. Apa mungkin aku bisa gonta ganti warna lipstik sesuai pakaian biar matching? Bentar-bentar beli baju, tas, sepatu dan aksesoris lainnya? Mau ke mana? Cuma sekadar antar jemput Aca? Kedengarannya oke juga sih. Tapi apa nggak berlebihan?

Seriously. Ketika aku melirik ke Mas Abram, ada keresahan lain yang membludak. Dibanding dengan segala tetek bengek penampilan, aku justru lebih khawatir akan bersama dengan Mas Abram sepanjang hari? Terus aku ngapain? Beres-beres rumah. Pantengin TV. Terus setelahnya? Main sama Aca? Bahkan makan bareng aja, kami lakukan kalau ada acara keluarga.

Aku nggak pernah sarapan di rumah. Aku selalu meninggalkan Mas Abram yang mematikan televisi dan bersiap kembali tidur. Setahun. Dua tahun. Sepuluh tahun? Apa akan begini terus? Apa pernikahan ini bisa bertahan selama itu?

Selama ini kami nyaman menjalani aktifitas masing-masing. Dan saat waktu yang dikatakan Ibu terasa semakin dekat. Tiba-tiba aku gelisah. Dulu aku juga menunggui Raffan setiap hari di rumah. Menyibukkan diri dengan ini itu, tapi saat itu aku sendiri, bukan seperti Mas Abram yang setiap saat di rumah. Bukan dengan Mas Abram yang membuatku kesulitan membuka komunikasi.

About Him? Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang