About Him - [7]

36.1K 5.2K 213
                                    

Nyonya Aca merajai di kursi depan. Tadinya aku sudah menariknya ke kursi belakang, biar Mas Abram bertindak sebagai sopir pribadi. Tapi niat jelekku memang nggak terlaksana karena Aca pengin duduk di depan, pengin liat ke jalanan. 

“Aca juga pernah kasih makan hewan yang lehernya panjang, Pa... Itu. Um...” Aca tampak mengingat-ingat hewan apa yang dia maksud. “Mama jangan kasih tahu dulu. Aca inget!”

Eh. Kok aku? Hm.. Aku semakin memajukan tubuh. Memperhatikan Aca dengan raut wajah mulai aneh. Dia melirikku sekilas.

“Jerapah,” kataku tanpa mengeluarkan suara.

“Jerapah! Iya Pa. Jerapah! Kaan.. Aca inget.”

Aku menggelengkan kepala, menahan senyum. Dasar.

“Terus kan, Pa. Ada monyet, bulunya banyaak... ngeriii... Aca nggak berani deket.” 

Aca terus bercerita tentang pengalamannya ke kebun binatang. Sedangkan Mas Abram hanya terlihat melirik sesekali. Duh Aca, kalau jadi Mama sekali di cuekin ya nggak bakal ngoceh lagi. Ya, meskipun aku tahu itu memang tabiat Mas Abram. Paling nggak kasih respon dikit kek. Anakku udah berbuih ngomong dari tadi, lho Mas.

“Tapi, kata Fadil bisa liat ikan besar-besar. Katanya bisa main sama kura-kura kecil juga. Ikannya lewat di atas kepala. Aca nggak pernah liat. Fadil bohong ya Ma?”

“Itu bukan di kebun binatang,” sahutku.

“Ikan binatang Maa...”

“Iya. Tapi yang dimaksud Fadil Seaworld mungkin.”

“Siwod, kebun binatang?”

“Bukan, itu akuarium raksasa.”

“Belum pernah?” Kali ini yang bersuara Mas Abram.

Alisku terangkat. “Apanya?”

“Ke Seaworld.”

“Ke Ancol pernah. Beberapa kali kok. Tapi—“ yeah, nggak ada gunanya juga aku melakukan pembelaan kan. “Belum,” sahutku akhirnya. “Kapan-kapan kita ke sana—“

“Kapan?” tanya Aca langsung.

Aku memijat pelipis. Minggu depan. Minggu depannya lagi. Dengan Aca aku nggak berani janji-janji ah.

Tapi, belum sempat aku memikirkan jawaban lain, mobil Mas Abram berputar arah. “Lho Mas?”

“Ada lumba-lumba juga. Aca bisa liat pertunjukannya, nanti.”

Aca berseru gembira sementara aku? “Mas ini udah setengah perjalanan. Kita sampe sana, ntar udah waktunya makan siang.”

“Makan dulu kan bisa.”

Yup. Singkat. Dan tepat. Tepat untuk membungkam mulutku.

Kami singgah di McD, dan makan dengan... cepat. Karena sang Nyonya Aca udah nggak sabaran liat ikan. Ya ikan! Bahkan dia cuma makan tiga suap. Awas aja kalau ntar di sana dia ngeluh kelaparan. Tahu gitu tadi aku iming-imingin singgah di empang, tangkap ikan gurame terus di panggang, makan, kenyang.

Sampai di kawasan Ancol, matahari sudah ada di atas kepala.

“Jangan lari. Kalau nggak kita pulang,” ancamku saat menurunkan Aca, dan dia dengan semangatnya mau main lari aja.

Aca cemberut, wajahnya menggemaskan. Ditambah dia memakai, dress kuning tanpa lengan bermotif bunga. Aku nggak tahu baju yang dipakainya pemberian siapa. Nggak pernah lihat Aca pakai baju itu sebelumnya. Mungkin Ibu yang belikan. Tadi saat kami tiba di rumah Ibu, Aca udah siap dengan rambut di kepang dan poni yang bergerak lincah ketika dia berlari menyambut—Mas Abram tentunya.

About Him? Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang