“Eh, kayaknya baru seminggu lalu kamu minta tanda tangan bayar pajak. Ini bayar lagi?”
Minggu lalu dari hongkong! Gini nih, kalau giliran bayar-membayar utang mendadak pikun.
Pak Irfan membetulkan letak kaca matanya, sebelum membubuhkan tanda tangan.
“Nggak mau libur lagi, kamu? Sekarang kamu kan enak, nggak perlu nunggu tanggal merah biar bisa libur. Tinggal suruh suami calling. Ya nggak?” komentarnya seraya mengembalikan lembar laporan ke aku.
Aku mencebik. “Ya saya kan, kalo nggak ada keperluan nggak minta libur Pak.”
“Lha, liburan ke Sea World juga keperluan?”
“Justru itu keperluan yang paling mendesak, Pak. Refreshing, biar otak nggak mampet terus, jadi kerjaan saya bagus.”
“Halah.. Saya tu kok ya, punya karyawan semuanya pinter jawab. Nggak kamu, Ira, Cath. Tapi saya heran lho kenapa Abram langsung lamar kamu.”
“Kok Bapak heran sih. Saya kan cantik,” sahutku.
Bos Irfan melengkungkan bibir ke bawah, tanda mengejek. Sejak awal kerja di sini udah puas sih dihina-dina sama mulutnya yang terkadang lebih menjengkelkan daripada cewek. Jadi, cara mensiasatinya yang cerewetin balik.
“Dulu saya jodohkan sama sepupu saya. Jauh cantikkan sepupu saya lah daripada kamu. Cuma Abramnya aja yang nggak mau. Kamu pake pelet ya.”
“Ih... Bapak. Kalau saya pake pelet, ngapain Mas Abram? Nicolas Saputra sekalian lah.” Bibir Pak Irfan menipis. “Sepupu Bapak gadis?” tanyaku lagi.
“Iya lah. Memangnya kamu janda.”
“Nah Ituu... Janda lebih pengalaman. Makanya Mas Abram milih saya.”
Pak Irfan mendengus keras-keras. “Udah-udah sana! Tambah stress saya bicara sama kamu.”
Ih... dia yang mulai duluan. Aku langsung membalik badan. Dan begitu sampai pintu dia ngoceh lagi.
“Hari minggu kemarin Abram reunian sama mantan istri ada cerita sama kamu nggak? Mereka itu nggak seperti pemikiran keluarga mertua kamu. Aslinya mereka akur banget.”
“Bapak manas-manasin saya ya? Tapi sayang, cinta suami saya cuma ke saya!”
Pak Irfan tertawa kali ini terlihat puas. “Udah tua sok cinta-cintaan. Paling Abram nikahin kamu biar ada status. Ada yang ngurusin makanan sama pakaiannya.”
“Memang kalau dia nikah sama yang lain bakalan nggak? Sama aja kali, Pak,” kataku membela diri.
“Ya dia sengaja cari yang janda lah, biar nggak terlalu banyak nuntut. Apalagi yang ada anak kayak kamu. Cukup dibiayain sekolahan anak selesai kan?”
Kok mendadak aku tersinggung ya. Kalau dipikir-pikir bisa jadi sih? Aku mendengus keras dan keluar dari ruangan Pak Irfan. Seriously, sampai di kubikel, rasanya aku benar-benar gerah, meskipun ini ruangan ber-AC. Memang tuh mulut bos! Lemes amat! Oke, iya. Akupun memang mencari pria yang bisa menafkahiku lahir-batin. Tapi, ucapan Pak Irfan tadi merendahkan banget.
Aku menggigit bibir bawahku. Please. Calm. Aku nggak cocok jadi mellow-mellow gini. Toh kamu juga terima Mas Abram nggak main perasaan kan?
***
Aku masih menunggu nomor antrean dipanggil, di kantor pajak. Meski coba mengalihkan aku kembali kepikiran omongan bos sialanku itu. Mas Abram masih berhubungan baik sama sesemantan, terus alasannya nikahin aku versi Bos Irfan masih berputar-putar di kepala.
Lamunanku terputus melihat nomor Mama mertuaku tertera di layar.
Dengan alis sedikit terangkat, karena nggak biasa-biasanya dia telepon, aku mengangkat panggilan, mengucap salam.