Stupid itu ketika aku telah menyiapkan setelan atasan polos dan celana cullote sementara Mas Abram mengeluarkan batik dari deretan baju resminya. Kalau disandingkan, ya bakalan nggak nyambung banget.
“Mas mau pakai batik?”
“Iya.” Padahal ke kondangan aja biasanya dia cuma pake polo shirt doang.
Aku mendekat, menarik lipatan polo shirt warna abu-abu miliknya, agar matching dengan celanaku. Lalu mengambil jeans panjang seperti yang selalu di gunakan. Fyi, Mas Abram juga pangkas rambut kemarin, jadi bisa bayangin lah tampilannya yang sedikit fresh aku nggak tahu dia melakukannya karena hari ini Aca tampil atau memang rambutnya udah agak panjang, lalu awut-awutan plus muka kusut kalau seharian di depan komputer.
“Pakai ini aja, biar keliatan kompak. Kan nggak ada disebut harus pakai dresscode khusus di undangan. Ke kondangan pun biasanya mas pake kaos,” sindirku.
Mas Abram hanya memandangku sesaat nggak membantah saat aku menyodorkan pakaian, nggak sampai semenit dia telah berganti. Kali ini di depanku, karena dia udah duluan pakai kaus dalam dan boxer. Aku masih nggak berhenti mengamati Mas Abram yang berjalan ke cermin dan menyisir rambutnya.
Pake pomade Mas. Nah gitu! Seruku dalam hati saat Mas Abram mengambil pomadenya. Kalau begitu kan kelihatan yaa... sekitar usia tiga puluhan lah. Aku terkikik dalam hati.
Berdeham sesaat. Apalagi pas Mas Abram memakai jam tangan. Fix! Nggak malu-maluin, digandeng ke acara entar. Eh? Emangnya dia mau gandeng aku? Kayaknya nggak bakalan, tak sadar aku mendengus.
“Kamu nggak mandi?”
“Hah?”
“Udah jam berapa ini?”
Shit! Aku langsung lari ke kamar mandi. Dia udah siap, aku mandi pun belum.
***
“Mas!” seruku. Ini orang kayak yang dikejar setan aja. Ke mana-mana nggak naik kendaraan nggak jalan kaki pasti buru-buru.
“Apa?” tanyanya malahan dengan tampang polos.
Mataku berputar ke atas. “Tungguin! Memang Mas mau duduk pisah-pisah? Rame orang.”
Aku berdecak seraya mendekat, Mas Abram memandangku sedikit kesal, aku tahulah, bisa keliatan dari sorot matanya.
Kugandeng tangannya, biar ini orang nggak bisa kemana-mana. Tapi bukannya lanjut jalan dia malah melirikku seakan ada yang aneh. Hell! Dia yang aneh, digandeng istri sendiri malah nggak mau. “Biar barengan jalannya,” kataku terpaksa mengemukakan alasan. Harusnya kalau dia ngerti sih, dia yang tungguin aku, tadi. Tapi suamiku ini orang paling nggak pengertian di dunia sepertinya.
“Cuma kamu yang pakai kaus,” komen Mas Abram saat kami masuk ke gedung acara. Aku mencebik, memang kelihatannya begitu, karena sebagian Ibu-Ibu yang lain menggunakan gamis.
Tak kuhiraukan dan segera mencari tempat duduk. Kebagian area tengah, karena area depan telah di isi dengan tamu lain.
“Aca tampil urutan berapa?” tanya Mas Abram saat kata sambutan di mulai.
Aku menggeleng. Bahkan aku aja belum lihat gimana tampilan Aca sekarang. Satu per satu kelompok peserta tampil di atas panggung. Lama kelamaan aku nggak sabar, kapan Aca tampil. Ketika kulirik jam tangan sudah hampir pukul duabelas.
Dan di sebelahku, Mas Abram seperti hendak berdiri.
“Mau ke mana?” tanyaku spontan. Jangan-jangan dia mau kabur karena bosan.
“Toilet.”
“Balik lagi kan?” ungkapku memastikan dengan sebelah alis terangkat.
Dia memandangiku lurus, “iya,” sahutnya sebelum benar-benar pergi.