About Him - [14]

38.6K 5.4K 540
                                        

Sabtu pagi Rena datang membawa oven. Mas Abram punyanya oven listrik, dan aku suka kebingungan mengatur temperaturnya. Jadi lebih aman aku pinjem oven kompor milik Ibu. Tapi yang jadi masalah, kenapa Rena harus mengantarkannya? Padahal aku udah bilang akan ambil sekalian ambil pekakas lainnya.

“Ini nih. Nggak sabaran,” ujar Rena menunjuk kepala Aca ketika aku bertanya.

Aku ikut menipiskan bibir, nggak heran kalau Aca udah punya mau. Aca masih berdiri di samping motor dengan masker, helm, jaket.

“Terus piring sama gelasnya? Bolak-balik dong?”

“Ya iyalah. Ini kan aku singgah sekalian mau ke kampus. Bukan singgah sih tepatnya, tapi muter-muter.” Rena menggerutu. “Disuruh sekalian bawa open sama Ibu, biar Kakak buat kuenya dulu kata Ibu.”

Aku membawa tas pakaian Aca, serta membantu melepas helm dan jaket Aca sementara Rena meletakkan kotak open ke atas meja bundar di teras.

Aca masih disorientasi tempat mungkin, matanya mengerjap-erjap dengan tampang bingung menoleh ke sekeliling. Tangannya juga naik menggaruk-garuk kepangannya—btw, Ibu rajin banget, rambut Aca yang udah di kepang rapi aja pagi-pagi. Mana Aca juga dipakein baju terusan sama legging, kayak mau pergi jalan-jalan aja.

“Papa—mana, Ma?”

Nah kan.

“Papa masih ngorok,” sahutku.

“Eh? Serius?” tanya Rena yang langsung kuangguki, sepintas dia melirik jam tangannya. Udah jam sepuluh lewat memang pas tadi aku lihat jam. “Ya udah, aku langsung ngampus deh. Bye Aca...” Rena mencium pipi Aca yang langsung disambut rengekan. Paling malas dia diciumi, apalagi habis mandi, tapi itu nggak berlaku kalau cowok yang nyium.

Aku kembali menutup pintu pagar sebelum mengajak Aca masuk. Aca menunggu seperti patung saat aku balik lagi mengambil open, tapi matanya melirik ke pintu kamar.

“Tadi udah sarapan?” tanyaku mencium pipinya yang langsung mendapat cemberutan, tapi aku tetap menciumi pipi satunya lagi. Aca memang selalu tampil menggemaskan dimataku. “Mama mau beres-beres. Aca nonton TV aja ya,” kataku, menyalakan televisi dan mencari tontonan kartun.

“Papa?”

Ya Allah ini anak. Sejak kejadian malam itu, aku ngomong seperlunya aja sama Mas Abram. Dia juga nggak ada niat bahas, atau memang nggak peduli tepatnya. Aku lagi malas mikir, alhasil aku diamkan aja.

Aku meletakkan remote, bergerak menuju Aca, dan mengambil tangannya berjalan menuju kamar... yang gelap. Aku sudah mematikan semua lampu tadi. Sementara di atas ranjang, Mas Abram masih tidur miring dengan selimut teronggok ke sebelahnya.

“Bangunin lah, kalau berani,” kataku menunduk berbisik di telinga Aca. Dia menoleh sesaat, air mukanya ragu-ragu dengan tubuh bergoyang-goyang. Sekali lagi aku mengecup pipinya. Sebelum beralih membuka gorden dan cahaya yang masuk tiba-tiba otomatis membuat Mas Abram bergerak, mengerjap-erjapkan matanya.

Aca melangkah mengikuti kemanapun pergerakanku, termasuk saat aku menuju nakas, mengecek ponsel. 

Mas Abram sudah bangun, dan sedikit heran menatap kehadiran Aca. Tapi nggak lama dia langsung menggulingkan tubuhnya turun dari tempat tidur, mengambil pakaiannya dan menuju kamar mandi.

Aku membereskan tempat tidur. Sementara Aca, masih saja mengikutiku. Dan begitu Mas Abram keluar, Aca semakin merapatkan tubuhnya ke sampingku. Dia sudah beberapa kali ke sini, tapi ini kali pertama dia lihat Papanya baru bangun tidur. Jadi rada malu-malu kucing dikit.

“Kapan sampai?” tanya Mas Abram.

Yang dimaksudnya pasti Aca. “Tadi diantar Rena,” sahutku.

About Him? Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang