Momen libur di weekdays seperti hari ini langkaa... banget. Dan kayaknya baru kali ini juga aku bisa leha-leha di rumah---rumah Mas Abram maksudnya. Tadi, begitu diperbolehkan pulang sama Dokter, sampai rumah Mas Abram langsung lelap di kamar.
Dan hal itu nggak aku sia-siain, untuk langsung selonjoran di ruang tengah, menikmati cemilan sambil nonton serial India kegemaran Ibu. Asli, aku penasaran kekuatan serial ini, sampe-sampe Ibu bela-belain ngerjain apa pun di depan TV, metik sayuran, ngiris bawang, dan yang paling kesel dia sering kelupaan jemput Aca, untung ada anak sepupu yang satu TK jadi bisa sekalian pulangnya.
“Aku biasa bangun pagi karena ingin melihat sinar matahari. Dan hari ini aku bangun pagi karena ingin melihat wajah cantik istriku. Bahkan saat tidur pun kamu tersenyum—“
Alisku terangkat. Hei... apa kabar aku, yang kalau bangun tidur rambut kayak sangkar burung? Iler sama kotoran mata kemana-mana? Mana mungkin sempet-sempetnya tidur sambil senyum. Tidur dengan mulut nganga baru bener.
Dan jangan harap Mas Abram bangun pagi buat natap wajah aku pas lagi lelap. Yang ada dia bangun pagi langsung buka channel TV berita. Dari jam lima bok! Dia setia pantengin TV dengan ocehan narasumber yang berhasil buat aku bangun tanpa perlu jam weker lagi. Terus kalau aku udah siapan buat kerja, si Pak Bos malah tidur lagi. Hebat!
Herannya, kenapa aku lupa tanya ya, dia di tim mana? #2019gantipresiden atau tetap Jokowi? Ah, bodo, kalau aku disuruh ikut kampanye mungkin spandukku, jadi #2019gantisuami.
Adegan selanjutnya itu si cewek dengan wajah berseri-seri, senang bukan main dikasih hadiah gaun, rencananya bakal makan malam. Sekilas aku melirik ke pintu kamar. Kalau Mas Abram ngasih hadiah tanpa diminta, kayaknya bakal jadi keajaiban dunia ke delapan! Dan kalau itu kejadian, mungkin aku bukan nangis haru sih. Tapi ke arah takut. Takutnya otak Mas Abram geser karena kejedot sesuatu.
Nggak bertahan lama, aku mengganti channel. Oke, aku nggak ngerti kenapa Ibu begitu gemar nonton serial itu, karena bagiku tontonan begitu racun, bikin ngayal babu, pas tibanya dihadapkan dengan realita bisa nangis darah ntar.
Btw, siang ini Mas Abram mau dikasih makan apa ya? Kan banyak pantangannya. Oke, aku WA aja katering langganan, minta anterin yang rebus-rebusan aja.
Selagi aku mengetikkan pesan, ponselku berdering. Nomor Rena tertera di layar.
“Ma....” pekik Aca, yang selanjutnya kudengar hanya tangisan kencangnya. Aku segera menegapkan tubuh. Astaga? Apa yang terjadi? Kalau nangis kenapa nggak lari ke Nenek, kenapa harus telepon aku? Duh, masih sempat-sempatnya aku mikir gitu. “Oma.. huaa.”
Jantungku langsung berdetak cepat, begitu kata ‘Oma’ tersebut. Sial! Mak lampir itu lagi.
“Kak,” ini suara Rena.
“Kenapa? Ibu kenapa? Kalau itu orang datang nggak diundang tutup aja pintu. Ngapain repot ngeladenin,” celotehku panjang.
“Celotehan kamu kalah panjang, Kak. Dia datang main serobot gitu aja. Marah-marah. Maki-maki. Sampe sodara pada ngumpul kirain ada apa.”
Aku mendengus. Bukannya udah biasa ya? Keluargaku nih, yang kurang bisa belajar dari pengalaman. Kehidupanku memang nggak pernah tenang kalau udah menyangkut mantan mertuaku satu itu. Ngakunya istri pejabat, tapi kelakuan... wassalam.
“Dia bilangin kakak pelacur, bisanya gaet tua bangka, om-om kaya, darimana coba dia tau suami kakak kaya terus udah tua?” ucap Rena menggebu-gebu.
Astagaa... aku memijat pelipisku. Bagian udah tuanya nggak perlu diperjelas banget lah. “Terus sekarang dia udah pergi?”
“Udah. Dibiarin tutup pintu. Pergi sendiri.”
“Bagus itu!”
“Bagus lah. Bisa jadi santapan gosip!” timpal Rena.