Aku kembali menyeruput caramel machiato di hadapanku. Hanya sedikit. Harus hemat-hemat untuk waktu yang entah berapa lama lagi aku menunggu di sini, di kafe di lantai dasar, dengan posisi duduk tepat mengarah ke pintu lobi.
Gedung tempatku bekerja adalah gedung perkantoran dan kantorku berada di lantai delapan. Jadi sampai malam pun tak pernah sepi. Banyak karyawan dari perusahaan lain yang masih lembur.
Sudah terlalu lama sendiri. Sudah terlalu lama aku masih sendiri.
Mata laserku langsung awas. Shit! Lagu ini. Sumpah aku benci banget lagu ini karena seolah jadi theme song bagi Cath untuk mengolok-olokku selama bertahun-tahun. Dan nyeseknya masih aja sama meskipun aku nggak sendiri lagi dan Cath nggak nyanyiin lagu itu lagi. Gimana nggak? Double rasa single.
Aku kembali melirik jam yang melingkar di tangan kiriku. Hampir pukul delapan. Kini aku kegerahan. Gerah karena kesal dan emosi yang udah sampai ke ubun-ubun.
Tadi pagi dia mengantarku. Bahkan cerita tadi pagi sempat membuat Cath berdecak heboh. Membenarkan semua argumennya tentang Mas Abram. Seolah-olah dia yang paling mengerti seluk-beluk pernikahan. Padahal menikah saja belum. Dan perlu diketahui, teori nggak berlaku dalam kehidupan berumah tangga.
Tapi meskipun menyangkal aku sempat mengamini kalau ini merupakan sinyal positif, seperti kata Cath, yang ternyata semua hanyalah berujung pada hipotesa semata, karena sampai detik ini Mas Abram nggak nongol juga. Meskipun aku nggak ada kirim pesan, masa dia lupa jemput? Dan aku nggak akan chat duluan. Sejak kapan aku beralih profesi jadi pengemis? Setidaknya itu yang kupikirkan sejak tadi dengan menahan diri. Dan aku berada di sini tentunya untuk menuntut kepekaan Mas Abram.
Tapi hingga waktu bergulir, dan perutku semakin perih menahan lapar, akhirnya aku menyerah. Oke. Cukup. Hanya kali ini aja, aku sebego ini. Besok-besok nggak boleh. Ngerti kamu Ola!
Aku langsung memesan taksi. Tak lama pesanan taksiku datang. Dan dalam kepenatan pulang kerja, ditambah harus menunggu yang tak pasti, pesan dari Mas Abram datang.
Mas Abram : Jemput?
Kurang ajar! Pake banget! “Nggak. Nggak usah! Ngapain pake tanya?!” Sampai sopir memperhatikanku dari balik kaca spion karena mendengar gerutuanku. Aku mendengus keras-keras di kursi penumpang. Terus-menerus memaki Mas Abram dalam hati.
Me : Nggak usah
Penginnya ditambah tanda seru ratusan kali.
***
Sampai di rumah aku langsung menuju kamar. Mas Abram nggak ada. Aku tahu dia di ruang kerjanya. Aman banget pasti, karena nggak perlu repot jemput aku ke kantor, tadi. Aku lagi nggak minat mikirin langkah selanjutnya, meskipun kesal masih berputar-putar. Karena selain tubuhku lengket, perutku juga minta di isi, cepet-cepet pake banget.
Aku nggak niat ngitung sih. Tapi kali ini kayaknya rekor tercepatku menghabiskan waktu di kamar mandi. Karena setelahnya aku langsung ke dapur mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian? Enggak. Bukan yang itu, tapi sesuap nasi beneran karena aku laper banget.
Dan... kenyataan yang kudapat sesuap nasi pun nggak ada. Jangankan nasi. Lauk-lauknya pun raib, atau memang nggak pernah ada sejak tadi?
Mataku memicing. Sekilas terasa panas. Pengin nangis karena kesal yang kian menggunung. Segera kulangkahkan kaki lebar ke ruang kerja Mas Abram.
“Tadi nggak ada yang anter katering?” tanyaku tanpa mengetuk, langsung buka gitu aja. Dan jangan kira dia akan terkejut atau apalah, dia cuma noleh.
“Aku yang nggak minta antar.”
“Kenapa?” tanyaku dengan intonasi tinggi yang nggak kutahan-tahan lagi.